Friday 27 July 2012

Untukmu yang Karena Allah Kumencintaimu

Bismillaah…
Duhai ikhwan yang kelak kau ada di sisiku setiap saat…
Ketika menuliskan ini sungguh aku bercucuran air mata dari telaga di sudut-sudut mataku, karena aku menulis dengan membawa segenap hatiku ke dalamnya,karena baru kali ini aku menulis dengan penuh cinta dan kasih yang amat terasa, karena kali ini aku beranikan diri untuk mengungkapkan segalanya kepadamu, karena baru kali ini aku sengaja membuat tulisan yang aku ingin kau membacanya, dan karena baru kali ini butiran cintaku tak kuasa terbendung ketika aku ingat perjalanan kita..

Duhai ikhwan yang karena Allah aku mencintaimu,
Aku adalah akhwat yang kelak kau bimbing dalam langkah-langkah menujuNya..
Aku adalah akhwat yang kelak menjadikanmu teladan dalam keseharian..
Aku adalah akhwat yang kelak ada dalam suka dan dukamu..

Duhai ikhwan yang karena Allah aku merindukanmu,
Darimu aku belajar tentang kesabaran, saat dalam penantian akan dirimu..
Darimu aku belajar tentang keikhlasan, saat aku menerima segala yang ada dalam dirimu tanpa aku rencanakan sebelumnya..
Darimu aku belajar tentang kedewasaan yang sesungguhnya, saat kita menapaki titian pernikahan ini..
Darimu aku belajar tentang pantang menyerah, saat kita melalui hari-hari penuh cobaan akan penantian yang sungguh terasa panjang ini..

Ya mujahidku, penantian ini, bagiku adalah penantian yang begitu panjang dan penuh liku..
Di dalamnya terdapat onak dan duri yang senantiasa menghiasi perjalanan kita, sehingga aku harus menjadikan hatiku seperti telaga yang airnya tak pernah habis, agar kesabaranku pun tak ada habisnya..
Di dalamnya terdapat senyum dan tawa yang melengkapi keindahan penantian ini, sehingga aku harus ekstra dalam menambah cintaku padaNya agar aku senantiasa melantunkan syukur dalam doa-doa yang kupanjatkan..
Di dalamnya terdapat sakit dan tangis yang menambah matang kedewasaan kita, sehingga aku harus meninggikan keikhlasan yang kupunya dan memusnahkan egoku agar kita tak sama-sama menjadi api dalam waktu bersamaan..

Duhai ikhwan yang tatapannya meneduhkan hati,
Ada kalanya aku lelah, tapi aku tau lelah yang kurasa tak selelah perjuanganmu..
Ada kalanya aku ingin marah, tapi aku sadar bahwa marahku hanyalah keinginan seorang anak-anak yang ingin kau perhatikan dan untuk itu aku harus memperhatikanmu lebih dulu..
Ada kalanya aku ingin kau pahami, tapi aku tau kau selalu berusaha memahami diriku bahkan lebih baik dari yang kupinta padamu..
Ada kalanya aku ingin menangis, tapi terkadang aku menyembunyikannya karena aku tak ingin kau dipusingkan dengan tangisanku..
Ada kalanya aku akan membuatmu merasa sedih, sungguh bukan karena aku ingin menyakitimu tapi aku ingin kau mengetahui segala hal tentang diriku tak hanya soal bahagiaku tapi juga sedihku..
Ada kalanya aku kau anggap begitu tak peduli, bukan sama sekali, aku sungguh peduli tapi aku mungkin tak tau cara seperti apa yang dapat kugunakan untuk mengungkapkan kepedulianku itu, maka kumohon ajari aku akan hal itu..
Ada kalanya aku menangis dan tak mengakuinya padamu, ketahuilah aku menangis bukan karena aku lemah, tapi aku manusia yang sangat perasa, dan dengan menangis aku merasa  lebih tenang dan nyaman, maka genggam tanganku dan izinkan aku menangis di pelukanmu karena itu membuatku jauh lebih tenang ..
Ada kalanya aku kau anggap begitu kekanak-kanakan, bukan sama sekali, aku tak ingin menjadi anak-anak seperti yang kau katakan, tapi aku sedang mencoba masuk ke dalam dirimu dengan cara yang kupunya karena aku tau kau begitu menyukai anak kecil..
Bahkan ada kalanya aku yang membuatmu begitu marah, tapi kumohon saat itu nasehati aku dengan penuh hikmah, bukan dengan terpaan tanda seru yang menghujam, karena sungguh aku pun memiliki sifat wanita yang lemah pada kelembutan..

Duhai ikhwan yang senantiasa memancarkan mahabbah untukku,
Ketika kau tengah bercerita dengan penuh gelora, mungkin aku akan diam saja mendengarkan, bukan tak mau menanggapi ceritamu atau menganggap ceritamu tak menarik, tapi karena aku seorang yang dilatih keahliannya dalam mendengarkan dan saat itu aku ingin membiarkanmu meluapkan keceriaanmu yang memang begitu kurindukan..

Ketika aku hanya ingin menceritakan hal-hal yang ringan, bukan karena aku tak mau berdiskusi denganmu, tapi karena aku seorang yang dilatih kecerdasannya dalam memahami apa makna dari sikap dan air muka seseorang dan saat itu aku melihatmu tengah penat..
Ketika aku tersenyum menatapmu dengan tatapan sedikit sayu dan bersandar di bahumu, bukan karena aku memintamu memanjakanku, tapi karena aku ingin sekadar menekankan bahwa kini kau juga punya aku di sisimu..
Ketika aku bertingkah layaknya anak kecil, bukan karena aku ingin kau perhatikan, tapi aku ingin membiarkanmu sedikit terlena  dalam kemanjaan dan keceriaanku yang tak mungkin kau dapatkan di medan perjuangan dan sekadar untuk melepaskan beban pikiranmu..
Ketika aku tak berterus terang akan sakit yang tiba-tiba muncul di tengah pekatnya malam, bukan karena aku tak mau jujur padamu, tapi karena aku ingin kau tetap terlelap dalam tidurmu yang nyenyak agar kau tidur cukup dan tidak lelah ketika menjalankan qiyamul lail..

Duhai ikhwan yang karena Allah aku ingin menjadi pendampingmu,
Sungguh ikhwanku, ada banyak hal yang kulakukan yang mungkin kau tak memahaminya karena aku melakukannya dengan caraku sendiri, bukan dengan caramu, maka kuminta kau sabar karena saat itu sebenarnya aku tengah mempelajari dirimu agar dapat melakukan hal-hal tersebut dengan cara yang kau inginkan..

Wednesday 11 July 2012

Hukum Wanita Bekerja dan Beberapa Syarat Perkejaannya


dakwatuna.com - Wanita adalah manusia juga sebagaimana laki-laki. Wanita merupakan bagian dari laki-laki dan laki-laki merupakan bagian dari wanita, sebagaimana dikatakan Al-Qur’an:
“…Sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain …” (QS. Ali Imran: 195)


Manusia merupakan makhluk hidup yang di antara tabiatnya ialah berpikir dan bekerja (melakukan aktivitas). Jika tidak demikian, maka bukanlah dia manusia.
Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan manusia agar mereka beramal, bahkan Dia tidak menciptakan mereka melainkan untuk menguji siapa di antara mereka yang paling baik amalannya. Oleh karena itu, wanita diberi tugas untuk beramal sebagaimana laki-laki – dan dengan amal yang lebih baik secara khusus – untuk memperoleh pahala dari Allah Azza wa Jalla sebagaimana laki-laki. Allah SWT berfirman:
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan…’” (QS. Ali Imran: 195)
Siapa pun yang beramal baik, mereka akan mendapatkan pahala di akhirat dan balasan yang baik di dunia:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Selain itu, wanita – sebagaimana biasa dikatakan – juga merupakan separo dari masyarakat manusia, dan Islam tidak pernah tergambarkan akan mengabaikan separo anggota masyarakatnya serta menetapkannya beku dan lumpuh, lantas dirampas kehidupannya, dirusak kebaikannya, dan tidak diberi sesuatu pun.

Hanya saja tugas wanita yang pertama dan utama yang tidak diperselisihkan lagi ialah mendidik generasi-generasi baru. Mereka memang disiapkan oleh Allah untuk tugas itu, baik secara fisik maupun mental, dan tugas yang agung ini tidak boleh dilupakan atau diabaikan oleh faktor material dan kultural apa pun. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan peran kaum wanita dalam tugas besarnya ini, yang padanyalah bergantungnya masa depan umat, dan dengannya pula terwujud kekayaan yang paling besar, yaitu kekayaan yang berupa manusia (sumber daya manusia).
Semoga Allah memberi rahmat kepada penyair Sungai Nil, yaitu Hafizh Ibrahim, ketika ia berkata:
Ibu adalah madrasah, lembaga pendidikan
Jika Anda mempersiapkannya dengan baik
Maka Anda telah mempersiapkan bangsa yang baik
pokok pangkalnya.


Di antara aktivitas wanita ialah memelihara rumah tangganya membahagiakan suaminya, dan membentuk keluarga bahagia yang tenteram damai, penuh cinta dan kasih sayang. Hingga terkenal dalam peribahasa, “Bagusnya pelayanan seorang wanita terhadap suaminya dinilai sebagai jihad fi sabilillah.”

Namun demikian, tidak berarti bahwa wanita bekerja di luar rumah itu diharamkan syara’. Karena tidak ada seorang pun yang dapat mengharamkan sesuatu tanpa adanya nash syara’ yang shahih periwayatannya dan sharih (jelas) petunjuknya. Selain itu, pada dasarnya segala sesuatu dan semua tindakan itu boleh sebagaimana yang sudah dimaklumi.

Berdasarkan prinsip ini, maka saya katakan bahwa wanita bekerja atau melakukan aktivitas dibolehkan (jaiz). Bahkan kadang-kadang ia dituntut dengan tuntutan sunnah atau wajib apabila ia membutuhkannya. Misalnya, karena ia seorang janda atau diceraikan suaminya, sedangkan tidak ada orang atau keluarga yang menanggung kebutuhan ekonominya, dan dia sendiri dapat melakukan suatu usaha untuk mencukupi dirinya dari minta-minta atau menunggu uluran tangan orang lain.

Selain itu, kadang-kadang pihak keluarga membutuhkan wanita untuk bekerja, seperti membantu suaminya, mengasuh anak-anaknya atau saudara-saudaranya yang masih kecil-kecil, atau membantu ayahnya yang sudah tua – sebagaimana kisah dua orang putri seorang syekh yang sudah lanjut usia yang menggembalakan kambing ayahnya, seperti dalam Al-Qur’an surat al-Qashash:
“… Kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat meminumi (ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.’” (QS. Al-Qashash: 23)
Diriwayatkan pula bahwa Asma’ binti Abu Bakar – yang mempunyai dua ikat pinggang – biasa membantu suaminya Zubair bin Awwam dalam mengurus kudanya, menumbuk biji-bijian untuk dimasak, sehingga ia juga sering membawanya di atas kepalanya dari kebun yang jauh dari Madinah.
Masyarakat sendiri kadang-kadang memerlukan pekerjaan wanita, seperti dalam mengobati dan merawat orang-orang wanita, mengajar anak-anak putri, dan kegiatan lain yang memerlukan tenaga khusus wanita. Maka yang utama adalah wanita bermuamalah dengan sesama wanita, bukan dengan laki-laki.

Sedangkan diterimanya (diperkenankannya) laki-laki bekerja pada sektor wanita dalam beberapa hal adalah karena dalam kondisi darurat yang seyogianya dibatasi sesuai dengan kebutuhan, jangan dijadikan kaidah umum.

Apabila kita memperbolehkan wanita bekerja, maka wajib diikat dengan beberapa syarat, yaitu:
1. Hendaklah pekerjaannya itu sendiri disyariatkan. Artinya, pekerjaan itu tidak haram atau bisa mendatangkan sesuatu yang haram, seperti wanita yang bekerja untuk melayani lelaki bujang, atau wanita menjadi sekretaris khusus bagi seorang direktur yang karena alasan kegiatan mereka sering berkhalwat (berduaan), atau menjadi penari yang merangsang nafsu hanya demi mengeruk keuntungan duniawi, atau bekerja di bar-bar untuk menghidangkan minum-minuman keras – padahal Rasulullah SAW telah melaknat orang yang menuangkannya, membawanya, dan menjualnya. Atau menjadi pramugari di kapal terbang dengan menghidangkan minum-minuman yang memabukkan, bepergian jauh tanpa disertai mahram, bermalam di negeri asing sendirian, atau melakukan aktivitas-aktivitas lain yang diharamkan oleh Islam, baik yang khusus untuk wanita maupun khusus untuk laki-laki, ataupun untuk keduanya.

2. Memenuhi adab wanita muslimah ketika keluar rumah, dalam berpakaian, berjalan, berbicara, dan melakukan gerak-gerik.
“Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya …’” (QS. An-Nur: 31)
“… Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan …” (QS. an-Nur: 31)
“… Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik” (QS. Al-Ahzab 32)
3. Janganlah pekerjaan atau tugasnya itu mengabaikan kewajiban-kewajiban lain yang tidak boleh diabaikan, seperti kewajiban terhadap suaminya atau anak-anaknya yang merupakan kewajiban pertama dan tugas utamanya.

Wabillahi taufiq.
(hdn)

Maraji’: Fatwa-Fatwa Kontemporer, Yusuf Qaradhawi

Monday 2 July 2012

MENUNGGU

Boleh saja pernah merasa lelah hanya untuk menunggu. Juga boleh saja pernah merasa kesal hanya untuk menunggu. Lantas tersimpulkan seluruh rasa dalam satu muara rasa; benci, lalu termuntahkan rasa itu dengan lidah serapah. Bila apa yang ditunggui tak kunjung tiba.

Cukup, dan Sebentar kita simpan rasa lelah dan benci. Dan coba tengok ke belakang. Ada di masa itu di kala Musa AS beranjak meninggalkan kaumnya untuk kembali membawa rahmat dan petunjuk dari Tuhan untuk kaumnya. Dijanjikan hanya empat puluh malam saja Musa AS akan kembali dengan rahmat dan petunjuk dari Tuhannya. Hanya satu diminta Musa As; jangan sampai Tuhan murka kepada kalian Bani Israil. [1]

Menunggu rupanya terlalu lelah dan payah bagi Bani israil. Belumlah sampai empat puluh malam Musa As akan kembali, malang melintang hari-hari mereka Bani Israil haru-biru dihura-hura dideru oleh nafsu. Ragu bila menunggu Sang Pemandu pilihan Tuhan yang maha tahu. Lantas payah menunggu, menyungkurkan diri mereka ke dalam kehinaan yang teramat hina. Menjadikan diri sebagai budak-budak sebentuk seekor binatang yang tidak lebih mulia dari seorang budak. Murka lah Tuhan dan Musa As; Kemudian Musa As kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa As: “Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu, dan kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?”. [2]

Ada juga di masa itu di kala Aisyah RA mulai merasa resah dan gelisah dengan fitnah. Setelah satu bulan lamanya Aisyah RA hampir seakan merasa tidak mendapatkan kelembutan dari seseorang yang tercinta, Muhammad SAW. Dia tidak tahu kapan tiba masanya. Dia hanya menunggu meski harus terasa pilu. Menunggu cumbu seperti masa lalu sebelum itu. Hanya berharap mimpi yang memberi tahu. Untuk bebas dari fitnah yang membelenggu. Menunggu memang terasa pilu. Hari-harinya penuh sendu kelabu. Bedanya, ia RA simpulkan rasa itu dalam satu muara rasa; Allah maha tahu.
Bukan mimpi yang ditunggui tiba agar terbebas dari fitnah. Malah Tuhan langsung memberi kabar gembira dengan kalimat yang tersimpan istimewa pada lauhah. [3] Akhirnya, harmoni cumbu dan cinta bersemi semula. [4]

Menunggu, rahasianya satu; Keyakinan cinta yang menyatu. Cinta yang menyatu bagai sungai nil dan tanah kinanah. Bagaikan Mekah dan Ka’bah. Bagaikan mentari dan pagi. Hanya cinta yang membuat mampu bertahan berdiri menanti. Tak peduli kini atau nanti. Tak peduli kalbu begitu rindu yang menggebu. Cinta -lah yang merangkai tunggu menjadi rindu, merangkai rindu menjadi asa, merangkai asa menjadi doa. Merangkai doa lebih indah dari sekadar kata mutiara. Seperti Aisyah RA menunggu kelembutan cintanya. Seperti alKhansa menunggu pejuang-pejuang kecilnya kembali dari medan jihad.

Menunggu itu bukan diam tapi pekerjaan dan bekerja. Sebab cinta tidak diam. Seperti halnya bila melukiskan wujudnya cinta. Ada tinta yang mengukirkan katanya. Ada kata yang menuturkan rasanya. Ada rasa yang menafsirkan maknanya. Menunggu adalah pekerjaan terberat dari rasa cinta. Tarik-menarik antara sekian rasa. Antara rindu dan pilu. Antara harap dan ratap. Antara cemas dan ikhlas. Antara istiqamah dan hianah. Antara ada dan tiada.

Menunggu juga bisa membuat hati mengeras dan membatu. Lalu pecah berkeping menjadi serakan serapah dan fitnah. Menghancurkan keyakinan menjadi ragu. Melumatkan iman menjadi kelabu dan layu. Seperti hati Bani Israil. Hati yang membatu dan lebih keras dari batu. Kala menunggu sang Pemandu pilihan Tuhan yang maha tahu kembali dari bukit Thur. Tak sanggup melebur dalam sinar sabar yang memancar. Tersungkur dalam kufur menutur mengekor pada seukir baqor [5] yang berkhuar. [6]

Lalu. Bila menunggu tak kunjung tiba. Bukan cinta yang tidak menyatu karenanya. Bahkan Tuhan hendak selalu bersama. Maka bersabarlah, “…sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. [7]

Dan bila menunggu tak kunjung juga tiba, yakinlah bahwa Tuhan telah menetapkan apa yang mestinya ditunggu-i. Bahwa Tuhan telah menetapkan Rezki. Bahwa Tuhan telah mengikatkan sebuah nama untuk sahabat hati. Bahwa Tuhan telah menetapkan baik dan buruk setiap makhluk.

“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu. Maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri”. [8]

Catatan Kaki:
1 : lihat kisah Musa As as. al a’raf: 142
2 : Thoha: 86
3 : lauhah; lembaran/mushaf
4 : kisah hadis ifki. An Nur: 11
5 : baqor(arabic); sapi
6 : khuar(arabic); bersuara ; al a’raf 148
7 : al Baqarah: 153
8 : ath Thur: 48