Tuesday 26 August 2014

Ciri – Ciri Orang Bermuka Dua (Penjilat)

Selalu melaporkan / menjelek-jelekan rekan kerjanya di depan pimpinan (menjadi spionase), padahal kinerjanya lebih buruk dan takut tersaingi.
Selalu menonjolkan ide / gagasan / kemampuannya (sok pintar) di depan pimpinan, padahal ilmunya tidak seberapa atau mungkin juga ilmunya dari orang lain.
Selalu berperan paling sibuk / over akting di depan pimpinan, padahal ia malas.
Selalu menunjukkan kesetiaan / tunduk pada pimpinan, padahal ia bertolak belakang.
Selalu memuji secara berlebihan, padahal dihatinya tidak demikian.
Selalu sok akrab, padahal dibelakangnya ia menghantam.
Selalu setuju-setuju aja, padahal ia hanya mencari aman.
Selalu berpura-pura baik, padahal ia memanfaatkan kebaikannya untuk mengorek informasi. Hati-hatilah juga dengan orang yang tiba-tiba baik kepada kita, mungkin saja ia baru saja berbuat dzholim terhadap kita.
Selalu siap menerima tugas, padahal tugas yang ia terima dilemparkan ke orang lain.
Selalu membantu pimpinan untuk urusan-urusan pribadi, padahal ia hanya mencari hati pimpinan.

Dan masih banyak lagi, silahkan anda cari dan cermati di lingkungan kerja anda.


Sekilas Sejarah tentang Orang Bermuka Dua (Penjilat)

Sebenarnya perilaku seperti di atas sudah ada dalam sepanjang sejarah kehidupan umat manusia. Seorang lelaki bernama Yunus bin Ya’qub mendatangi Imam Ja’far Ash- Shadiq RA sambil berkata, “Berikanlah tanganmu padaku karena aku hendak menciumnya” Imam Ja’far memberikan tangannya dan lelaki itu pun leluasa menciumnya.

Kemudian lelaki itu melanjutkan permintaannya, ”Dekatkanlah kepalamu,” Imam Ja’far mendekatkan kepalanya dan lelaki itu pun menciumnya. Tak puas sampai disitu, lelaki itu berkata, “Berikan kakimu karena aku ingin menciumnya juga”. Imam Ja’far dengan nada tak senang berkata “Aku bersumpah bahwa setelah mencium tangan dan kepala maka anggota tubuh yang lain tak layak dicium”.

Ada dua poin penting yang dapat kita petik dari kisah tersebut :
- Pertama, Islam melarang segala bentuk penjilatan.
- Kedua, siapa pun yang dijilat hendaknya merasa tidak enak.

Rasullullah SAW bersabda : “Menjilat bukanlah termasuk karakteristik moral seorang mukmin.” Budaya menjilat bukan budaya seorang mukmin. Bahkan, sebenarnya budaya ini lebih dekat pada karakter seorang munafik.

Seorang penjilat sejatinya sedang membohongi dirinya sendiri. Apa yang dilakukannya berlawanan dengan lubuk hatinya yang paling dalam. Ia rela melakukan apa saja secara berlebihan demi mendapatkan perhatian dan pengakuan dari orang yang dijilatnya. Biasanya yang menjadi korban penjilat adalah mereka yang tergolong mapan dan superior, seperti atasan, pimpinan, pemegang kekuasaan dan keputusan.

Sebagaimana kisah tersebut, Yunus bin Ya’qub menjilat pemimpin agamanya, agar dengan cara itu ia mendapatkan pengakuan ketaatan dan ketulusan dari pemimpinnya. Namun, sayangnya, ia berhadapan dengan seorang pemimpin yang bukan hanya tidak mau dijilat, tapi juga melarang segala bentuk penjilatan.

Lalu mengapa Islam melarang budaya menjilat?? Menjilat adalah salah satu bentuk kehinaan. Padahal, Islam datang menjunjung tinggi kemulian dan kehormatan manusia. Sedangkan penjilat berusaha menghinakan dirinya dan merobohkan harkat dan martabat manusia yang dibangun Islam.

Terkadang, budaya menjilat ini timbul karena kesalahpahaman terhadap makna dan pengertian tawadhu (rendah hati). Misalnya, seorang bawahan merasa perlu memuji atasannya setinggi langit demi menunjukkan loyalitasnya terhadap sang atasan. Ironis sekali kalau sang atasan mengangguk-anggukkan kepalanya alias mengamini dengan berbagai pujian itu. Sementara hal yang dijadikan bahan pujian bawahannya itu sebenarnya tidak terjadi.

Dengan demikian, atasan ini telah membiarkan kebohongan dan kepura-puraan terhadap dirinya terus berlangsung. Sesuatu yang tidak ada pada dirinya terus berlangsung. Sesuatu yang tidak ada pada dirinya dikatakan ada. Bukankah ini dusta yang besar?? ... Bukankah ini hal yang terlarang. Ali bin Abi Thalib pernah berpesan, ”Memuji lebih dari yang seharusnya adalah penjilatan.” (Nahjul Balaghah, hikmah 347). Karena itu, hindari sejauh mungkin segala tindakan yang menjurus ke arah penjilatan.

Salah satu sifat buruk yang dibenci Allah SWT adalah munafik. Sabda Rasulullah SAW, ”Kalian pasti akan bertemu dengan orang-orang yang paling Allah benci, yaitu mereka yang bermuka dua. Di satu kesempatan, mereka memperlihatkan satu sisi muka, namun di kala yang lain, mereka memperlihatkan muka yang lain pula.” (HR Bukhari-Muslim).

Dalam hadis lain, riwayat Imam Abu Dawud dan Muslim, lebih jelas lagi Rasulullah SAW menyatakan,”Seburuk-buruk manusia adalah yang bermuka dua. Datang di satu kesempatan dengan satu muka, dan pada lain kesempatan datang dengan muka yang lain.”

Dua hadis di atas menyampaikan beberapa pesan penting kepada kita. Pertama, kita dilarang menjadi pribadi-pribadi munafik (hipokrit). Pribadi-pribadi yang memperlihatkan satu muka di satu kesempatan dan muka yang lain di kesempatan yang berbeda. Artinya, kita dituntut untuk konsisten dalam kebenaran yang sudah diyakini, dengan kesesuaian antara iman dan amal, antara praktik dan perkataan.

Allah SWT berfirman : ”Di antara manusia ada yang mengatakan bahwa mereka beriman, namun sesungguhnya mereka tidak beriman. Mereka mencoba menipu Allah dan orang-orang beriman, tapi sayang, sebetulnya mereka telah menipu diri mereka sendiri.” (Al-Baqarah: 8-9).

Orang munafik pada tataran ini memperlihatkan sikap dan sifat yang mendua. Dalam ayat yang lain, Allah SWT membeberkan lagi apa-apa yang telah mereka perbuat : ”Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (An-Nisa’: 142).

Pesan kedua yang dapat diambil dari hadis tadi, kita harus teguh dalam berpendirian, dan konsisten dengan kebenaran yang telah diyakini, tanpa dapat tergoyahkan. Ketika seseorang sudah menyatakan beriman, maka iman itu harus terpraktikkan nyata dalam kehidupan. Iman harus mewarnai segala tindak-tanduk amaliah sehari-harinya.

Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu’.” (Fushshilat: 30).

Pribadi Muslim seharusnya selalu menggambarkan kesatuan wajah hanya untuk dan karena Allah SWT semata, bukan yang lain : ”Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar.” (Al-An’am: 79).

Allah SWT sangat membenci orang munafik, karena mereka memperlihatkan sifat dan sikap mendua, antara Iman dan Tidak. Maka sudah sewajibnya seorang beriman dapat menyatukan juga antara iman dan amal, tidak bertolak belakang, apalagi berlawanan arah. Semoga kita tidak menjadi orang-orang yang bermuka dua. Wallahu a’lam.

No comments: