Friday 31 October 2014

Ingin Menjadi Dosen? #Part 2#

Oke deh, kita lanjutin obrolan santai tentang fakta mengenai dosen. (Part 1 klik disini). Perlu diingetin lagi nih bahwa semua yg ditulis di blog ini adalah pendapat pribadi. Tidak terkait ataupun mencerminkan kebijakan dari suatu institusi.
Jadi seperti biasa kita bisa sepakat untuk tidak sepakat.

# Setelah lulus, langsung jadi dosen atau …
Kalo saya dulunya gak langsung jadi dosen. Di semester 5, saya bekerja part time di sebuah Studi Photo. Jadwal kuliah selesai jam 1 siang, trus lanjut kerja sampai jam 10 malam. Disana saya kerjanya ngedit poto, design2 tampilan photo sesuai dengan permintaan customer. Saya bekerja disana selama 1 semester. Setelah itu,di semester 7 selama lebih kurang 1 tahun saya bekerja di sebuah perusahaan swasta PT. MNC Sky Vision, Dept Retrieval sebagai Staff Admin. Saat itu kuliah saya tetap lanjut, da kebetulan materi kuliah sudah selesai dan saya tinggal menyelesaikan skripsi saja. Setelah selesai S1 saya mendapat tawaran menjadi dosen di kampuz saya menyelesaikan S1. Kemudian saya memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan tempat saya bekerja karena harus melanjutkan pendidikan ke Pasca Sarjana. Dari pengalaman saya sendiri dan hasil ngobrol dengan beberapa kolega, dapat disarikan bahwa kerja di perusahaan swasta yang besar sebelum menjadi dosen memberi beberapa keuntungan:
a. Hand on experience
Yang jelas setelah kita sempat kerja di perusahaan, pandangan kita menjadi lebih terbuka mengenai dunia nyata. Bahwa apa yg ada di text book tidak selalu jalan di dunia nyata. Hal ini disebabkan adanya perbedaan konteks, paradigma, asumsi yang digunakan di textbook dan di dunia nyata. Bukan berarti bahwa ilmu text book tidak berguna di dunia nyata, namun lebih seringnya kita harus mengadaptasi konsep-konsep textbook agar kontekstual. Selain itu, dengan merasakan sendiri bekerja di dunia lain, dosen akan bisa menyisipkan pengalaman-pengalamannya di saat memberi pelajaran. Contoh-contoh yang ditampilkan saat mengajar menjadi realistis – dan mudah-mudahan menjadi lebih menarik bagi mahasiswa.
b Network
Dengan pernah merasakan bekerja di dunia lain, jaringan pertemanan / komunikasi kita menjadi luas, terutama di bidang kerja kita. Network yang luas akan berguna sekali, misalnya: tukar informasi tentang pengetahuan terbaru, konsultasi, dsb.
c Open Minded
Terkadang dosen terlalu fokus ke bidangnya, dan tidak mau tahu lagi hal lain di luar bidang keilmuannya. Kesempatan untuk bekerja di dunia lainnya akan memberikan peluang untuk melihat dunia dalam ‘gambar besar’ – suka atau tidak suka. Saat anda bekerja di dunia lain, anda akan terekspose pada tugas-tugas yang menuntut anda untuk bisa bekerja sama dengan orang lain dan melihat masalah secara sistemik / holistik. Trend kerja di perusahaan swasta saat ini adalah mengurangi / menghilangkan silos of expertise. Anda akan membawa attitude ini saat anda menjadi dosen.
d Memperjelas niat
Menjadi dosen, menurut saya, adalah panggilan. Seorang dosen dituntut untuk banyak berkorban dengan tujuan menjadi pendidik yg baik. Banyak tantangan dan godaan dalam perjalanan untuk menjadi seorang dosen. Gaji yang besar di tempat lain, misalnya. Karenanya, untuk meyakinkan apakah anda benar-benar ingin (passionate) menjadi dosen, salah satunya adalah dengan ‘mencicipi’ pekerjaan lain. Jika ternyata setelah anda bekerja di perusahaan sekian lama, dengan gaji yg cukup, fasilitas oke, dan hati kecil anda tetap menginginkan menjadi dosen – berarti dosen adalah panggilan jiwa anda. Anda tidak akan sedih saat bertemu teman seangkatan anda sudah menjadi manajer di sana, mondar-mandir ke LN, gaji besar, dsb karena menjadi dosen adalah PILIHAN anda. Bukan suatu keterpaksaan
.
# Perlukah Sekolah lagi?
Kayaknya untuk yang ini jawabannya udah jelas. Dosen dituntut untuk selalu mengupgrade dirinya agar bisa kompeten. Karena salah satu tugas dosen adalah menjadi peneliti, maka dia harus punya kecakapan untuk bisa menjadi peneliti mandiri. Gelar Ph.D atau Doktor memberikan gambaran bahwa sang penyandang adalah seseorang yg berkompeten untuk melakukan penelitian secara mandiri. Selain itu dosen seharusnya selalu mengupdate kemampuannya agar tidak kuper. Karenanya dosen harus selalu haus untuk selalu belajar dari manapun – bahkan dari mahasiswanya. 

# Dosen = pinter di akademik
Well, ini adalah syarat perlu tapi bukan syarat cukup. Orang yang pinter di akademik belum tentu cocok jadi dosen, tapi untuk jadi dosen perlu modal itu.
He he .. agak ribet ya?
Di samping harus jago di bidang akademik [oke deh IP=3, cum laude juga boleh, dst], menurut saya dosen harus jago di bidang soft skill.

Wah apa pula itu soft skills?
Kira-kira sih artinya kemampuan untuk berinteraksi dengan manusia lain. Ya sesama dosen, mahasiswa, kolega, dll. Jadi yg dituntut untuk jago soft-skill tidak hanya mahasiswa lho.

# Dosen = serem
Wah kalo ini saya gak tahu deh. Tapi apa ya masih jamannya dosen itu harus serem? Kalo serem so what gitu lho? Mahasiswa jadi gak berani mengungkapkan pendapat, tak ada diskusi, sepi, ngatuk, boring.

Tapi kalo emang sudah bawaan lahir / inherent ya mo gimana lagi. Harap maklum.

# Dosen = sumber ilmu pengetahuan
Kemunginan besar tidak deh. Dosen juga manusia. Bukan ‘dewa’ ilmu pengetahuan – serba tahu. So semestinya dosen mengakui bahwa sekali-sekali tidak tahu ya gak masalah. Tapi kalo sering-sering ya jangan. Paradigma baru pembelajaran adalah SCL – student-centered-learning. Kurang lebih artinya adalah bahwa mahasiswa harus diberi kesempatan untuk bisa belajar sesuai gaya belajarnya sendiri. Ada deduktif, ada induktif. Ada yg jago belajar secara abstrak – pinter banget nurunin rumus yg pake integral lipat lima; ada yg pinternya belajar dengan intuisi dan studi kasus; ada pula yang lihainya belajar dengan mempraktekkan. Dosen ya bertindak sebagai fasilitator bukan dewa ilmu pengetahuan.
Intinya, learn smart, play hard.

No comments: