Wednesday 22 June 2016

The Things I Hate

Sebagaimana mahasiswa punya hal-hal yang mereka benci dari dosen mereka, saya sebagai dosen juga punya daftar yang saya benci dari mahasiswa saya. Bukan kebencian personal. Hanya hal-hal yang sebenarnya saya tidak suka, tapi kadangkala harus pasrah saja kalau itu terjadi.

1.  Jadwal kuliah sudah diundur 30 menit tapi mahasiswa tetap datang 30 menit lebih lambat dari jam yang sudah diundur
Saya mencoba memahami kondisi mahasiswa yang bervariasi, jadi, saya mencoba empati. Maka saya mengajak mahasiswa untuk masuk kuliah 30 menit setelah jadwal sebenarnya. Asumsinya, semua senang dan riang. Asumsinya, semua datang dong. Tidak pake terlambat. Ternyata, asumsi saya salah sama sekali. Tetap saja ada dan banyak yang terlambat. Bahkan belum ada yang datang, dan saya menjadi dosen yang mencari-cari mahasiswa. Plissssssss. Ini memang masalah jam berapapun mulai kuliahnya, datanglah 30 menit sesudahnya.
 
2. Datang terlambat, ketok pintu, nanya boleh masuk apa tidak.
Kesengsaraan saya berlanjut. Setelah makan hati menunggu agar mahasiswa di kelas penuh. (Saya paling males kalau kelas yang terdaftar 25 terus yang masuk dua orang. Mending saya ajak main monopoli. Selalu ada drama sesudahnya. Biasanya pas sedang semangat berceloteh, tiba-tiba pintu diketok. Saya juga jadi berhenti (dan biasanya kalau sudah berhenti tiba-tiba, saya lupa kata terakhir saya apa). Pintu terbuka. ternyata, ada mahasiswa dengan sopan bertanya “Saya terlambat, saya boleh masuk bu?”. Mau jawab apa coba. Dijawab tidak, nanti dibilang tidak aspiratif. Bagi saya, telat ya telat aja. Kalau mau masuk, ya masuk aja. Kalau tidak masuk ya silahkan.
 
3. Di kelas, ngobrol sama teman, kedengaran keras.
Ini kebangetan. Saya selalu menyampaikan di awal, silahkan bawa minuman, atau permen, buat menghilangkan kantuk. Tentu dalam bentuk dan jumlah wajar. Prinsipnya, buat anda nyaman. Secara ekstrem, saya lebih suka mahasiswa saya tertidur sendiri daripada ngobrol. Nah, mahasiswa yang ngobrol inilah yang saya benci. Kalau ngobrol sendiri sih tidak masalah. Saya tinggal telepon orangtua anda dan bilang, “Pak/Bu, anak anda kayaknya gila. Masak di kelas saya, ngobrol sendiri…”. Silahkan ngobrol dengan teman anda. Tapi jangan ganggu kelas dan situasi kelas.
 
4. Ditanya apapun, tidak ada yang menjawab. Tapi memang menyebalkan kalau ditanya apapun, tidak ada yang memberikan respon. Saya jadi tak tahu apakah mahasiswa saya paham atau tidak. Tidak ada pertanyaan yang bodoh. Pertanyaan bodoh adalah pertanyaan juga. Ada dua asumsi ekstrim yang saya pakai, yaitu ada yang takut kalau bertanya itu dianggap bodoh, lalu ada yang takut dianggap sok pintar kalau bertanya. Dua-duanya bikin saya mati gaya. Kalau tidak, berikanlah respon atau sinyal bahwa anda masih hidup. Saya tidak mau kalau tiba-tiba anda semua berubah menjadi zombie dan menyerang saya. Saya hanya menyukai zombie dalam film. Tidak dalam kehidupan nyata. Lagipula, biasanya kalau kelas bisu begitu, berarti memberikan peluang bagi saya memberikan tugas atau quiz. Lalu, apakah kalau mahasiswa bertanya itu berarti saya tak akan memberikan tugas? Tugas ya tetaplah. 

Nah itu baru 4 yang saya tulis. Selanjutnya mengenai UJIAN. Dosen punya doa khusus untuk mahasiswa menjelang UJIAN.
 
"Semoga mahasiswa saya mendapat kekuatan, kemampuan dan kepandaian agar lulus pada semua mata kuliah yang saya ujikan hari ini. Sungguh, jangan biarkan mereka tidak lulus. Saya bosan dan teramat bosan melihat mereka setiap kali masuk, bengong dengan tatapan menerawang setiap semester. Sungguh, jangan berikan saya cobaan berat ini tiap semester. Namun jikapun mereka tetap tidak lulus, semoga mereka sadar bahwa masih ada mata kuliah lain yang bisa mereka ambil dan mereka nikmati setiap semester. Jangan hanya mata kuliah saya. Jika ini memang cobaan yang harus saya jalani, saya terima, tapi, mohon jangan tiap semester..."
 
:) itu khusus untuk mahasiswa yang berkali-kali tidak lulus. Intinya adalah dosen juga ingin anda lulus karena bosan yang anda rasakan harus ngulang setiap semester juga dirasakan oleh si dosen. Tapi ini tidak dalam semua kondisi. Sebagian saja.
 
 Seringkali muncul pertanyaan semacam ini pada saya. Atau jenis pertanyaan lain, “Apakah dosen bisa salah?” Untuk kedua pertanyaan itu saya jawab, Boleh. Dan Bisa. Bisa jadi pertanyaan ini diajukan oleh mahasiswa yang mungkin sempat konflik dengan dosennya, atau mahasiswa yang sangat terkesima dengan dosennya. Tapi, seringkali, di dunia nyata, banyak kali hal-hal aneh terjadi. Ini berkaitan dengan “salah” itu tadi. Bukan soal setan.

Dosen sangat boleh salah. Tentu dalam konteks tidak sengaja. Dosen bukan Tuhan. Lihat saja saat lebaran, atau hari besar agama lain, kan pada minta maaf. Pada kesalahan yang dilakukan. Yang saya asumsikan, harusnya tidak disengaja dong. 

Bagi saya, dosen itu media penyampai ilmu. Dia akan tergantung bagaimana dia mendapatkannya, dimana dia mendapatkannya atau apa yang dia dapatkan. Bisa jadi dan sangat mungkin jadi, dosen membaca buku yang sama dengan mahasiswa. Sumber yang sama. Yang beda bisa jadi kapan dan bagaimana dia mengolah sumber itu. Lha, buku aja bisa diralat, masak dosen tidak bisa salah.
 
Mahasiswa atau dosen sendiri seringkali menempatkan posisi dosen sebagai untouchable. Tidak tersentuh. Mungkin memang, ada masa sial saat mahasiswa berhadapan dengan dosen yang tak mau disalahkan, walau sebetulnya dia salah. Ada beberapa alasan kenapa ada dosen seperti itu:

Satu, dia lagi kurang piknik. Pikiran mumet. Hutang makin banyak. Gaji gak naik-naik. Jadinya tidak bisa berpikir jernih. Emosian. Bisa juga karena dia lagi M. Mumet. Kalau sudah begini, ya cari cara meyakinkan dia dengan tepat. Jangan langsung asal tembak. Kayak main layangan lah. Ulur Tarik, ulur Tarik. Kalau mahasiswanya sama ngototnya ya percuma.

Kedua, mungkin memang mahasiswanya yang salah. Tanpa didukung argumentasi yang bagus pula. Dosennya punya argumentasi dan alasan yang kuat. Sesabar apapun dosennya, kalau mahasiswanya sudah salah dan ngeyel ya biasanya memang berakhir tragis pada mahasiswa dan dosen. Si mahasiswa diskak di kelas, dosen dicela di luar kelas. Kalau kayak begini, dosennya juga musti sabar. Mahasiswanya musti nyadar. Tapi kalau masih lanjut, ya sudahlah.

Ketiga, mungkin dosennya memang punya pikiran kayak tembok. TIdak mau disalahkan. Ini seringkali berkaitan dengan reputasi. Atau lebih parah, gengsi. Ini adalah dosen yang punya prinsip “Dosen tak pernah Salah. Kalau dosen Salah, kembali pada kalimat pertama”. Berhadapan dengan dosen begini ya, saya sih menyarankan mahasiswanya ngalah. Karena dalam situasi dan budaya di kelas di negeri ini, saya kok tidak yakin kalau dosen tersebut akan mau menerima. Mengalah, bukan berarti kalah kan? Mengalah kan bisa berarti tidak menang. haha... Yang saya takutkan adalah collateral damage-nya. Yang kena imbasnya teman anda yang lain. Atau hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan akademis. Tapi kalau anda merasa cukup mampu menampung konsekuensi ajaib yang akan terjadi, ya tidak apa-apa. Bantahlah terus. Ini memang sulit. Kayak penyakit. Selamat datang di dunia nyata.

Iya, mungkin anda akan merasa kenapa harus mahasiswa yang mengalah. Sulit menjelaskan. Tapi kondisi saat ini, menurut saya, agak sulit dan kurang memberikan peluang anda untuk berbantahan dengan keras. Kita sejak awal didoktrin untuk taat, manut. Debat konstruktif tak diajarkan.

Tapi, jangan menyerah, lalu kemudian anda ngambek, banting tas, masuk kamar, banting pintu. Jangan. Itu nanti mirip sinetron picisan. Apalagi sambil teriak membelalak, “Apaaaaaa? Kecelakaaaaan?” Lalu telpon dibanting, meja dibuang sambal nangis kayak matanya diculek bawang merah sekilo.

Tapi ada juga mahasiswa yang sangat terkesima dengan dosennya. Mungkin kalo dosennya bilang, dalam hitungan ketiga anda akan tertidur, langsung ngorok deh. Atau “begitu anda mendengar tepukan tangan saya maka isi kepala anda akan hilang.” Emangnya zombie?. Saking terkesimanya, semua penjelasan dosennya dimakan mentah-mentah. Tidak dicerna atau tidak dipertanyakan. Tidak semua penjelasan dosen itu benar begitu saja. Ilmu pengetahuan itu dinamis. Buku yang dibaca sama. Bisa jadi interpretasi berbeda. Itulah dialektika terjadi. Untuk belajar sama-sama. Sebagai sebuah proses.

Lihat sekitar anda. Lihat mata kuliah yang anda ambil. Akan selalu ada dosen yang dengan sewajarnya berkata, “Iya, maaf, saya salah. Pendapat kamu benar. Buku itu memang tidak menjelaskan .. blab la bla”. Pasti akan ada selalu dosen yang dengan senang hati berkata, “Wah, maaf. Saya belum tahu masalah itu. Mungkin kamu bisa membantu menjelaskan apa yang dimaksud… blab la bla”. Pasti ada. Dunia tak melulu hitam.

Persoalannya, sering juga terjadi, dosennya siap diskusi, mahasiswanya cuman bisa mantuk-mantuk. Entah tak mengerti atau tak perduli. Sama saja hasilnya. 
 
Jadi, mulailah liat dosen-dosen anda. Seperti apakah dia…??? 

Salah satuhal yang bikin sakit kepala dosen adalah saat masa KRS tiba. Ini saat mahasiswa menentukan rencana studi pada masa semester berjalan berikutnya. Ini saat yang tiba-tiba membuat dosen pusing kepala juga. Karena hal-hal berikut ini:

Pertanyaan klasik mahasiswa yang malas mikir: “Semester ini saya harus ambil apa?”

Yang kuliah siapa? Harusnya tahu dong semester ini mau ambil apa. Ini sepert kamu berdiri di depan penjual duren dan bertanya, “Saya harus beli apa ya?”. (*langsunglemparduren). Seorang Mahasiswa uddah tahu persis harusnya mau ambil apa, mau kuliah apa. Pertanyaan klasik juga “Bu, saya tidak mau ambil matkul A, tapi kan wajib, jadi gimana dong?’
Awalnya, saya pikir ini pertanyaan retoris. Tapi, dugaan itu salah saat sang mahasiswa ternyata menunggu jawaban saya. Ini sama kayak kamu berdiri depan polisi sambil berkata, “Pak polisi, saya tidak mau pakai helm, tapi kan wajib pake helm, kalau tidak pake helm, saya pasti ditangkap”. Nah, tanya aja terus sampai Metallica bikin lagu keroncong! Intinya, Kalau udah tahu wajib, masa musti ditanya lagi?

Mahasiswa kebanyakan SKS. Penginnya diambil semua.

Saya senang kalau mahasiswa saya pintar, pandai. Salah satu penanda sederhananya adalah karena nilai semester sebelumnya bagus, maka dia bisa mengambil SKS maksimal. Biasanya 24 sks, yang artinya kurang lebih dia bisa ambil 7-8 mata kuliah. 8 matakuliah seminggu itu banyak bro. Tidak harus dipaksakan. Hidup itu tak hanya kuliah. Di kelas. Apalagi kalau dosennya 4L (Lu lagi, Lu Lagi). Hidup perlu divariasikan. Ikut organisasi, ikut lomba atau prestasi lainnya. 
 
Mahasiswa kebanyakan SKS, bingungan.

Kekacauan poin sebelumnya akan lebih sempurna jika kalian juga bingungan. “Saya ambil matkul A aja deh, tapi kan itu tugasnya banyak?”, atau “Matkul C asyik, tapi kan ndak wajib?” atau, “matkul B boleh juga, tapi dosen-nya, ndak ah”, “Matkul K bentrok sama matkul G dan matkul X, duh gimana ya?” Ini bikin dosen kehabisan opsi saran. “terus, gimana? Mau ambil matkul mana aja?”
“Udah bu, saya penuhin 24 SKS. Fix.”
“Ok, final ya ini”
“Ya bu. Tapi kalau ada satu yang ndak lulus, gimana bu? IP saya jadi turun dong”
!(*@U#U@#U@U#O@U#@(

Mahasiswa SKS minimum, Ambisi maksimum

Saya kadang kasihan, tapi mahasiswa tipe begini kadang perlu sadar diri. Sudah tahu jumlah SKS minimum, tapi ambisinya maksimum. Saya paham dan mendukung kalau ambisi itu perlu buat memaksimalkan kemampuan, tapi ya realistis juga. Udah gitu, tidak nyadar, kadang hal itu disebabkan karena mereka juga. Lalai di semester sebelumnya.

Mahasiswa last minute.

Ini mahasiswa yang merasa dunia milik mereka dan dosennya cuman numpang. Proses konsultasi dan bimbingan diminta pada saat-saat terakhir, menjelang penutupan. Tidak tanggung-tanggung, mereka biasanya memerintahkan dosennya untuk di kampus atau ada untuk mereka setiap saat. “Bu, saya ke kampus ya, tolong disapprove bu, hari ini terakhir dikumpul”, atau “Ibu kok tidak ke kampus? Saya nunggu untuk diaprove bu. Tolong yang cepat ya bu” Kayak gini, dosen wali merasa boss-nya jadi tambah banyak. Perasaan kemaren-kemaren cuman dekan sama rektor,  kok bisa nambah jadi anak ini?

Mahasiswa ngetop

Biasanya ditandai dengan SMS “Ibu, dimana? Saya di kampus nunggu tanda tangan”. Situ siapa? Nama..namaaaa… terus saya disuruh teriak gitu di kampus, “Hoi, yang kirim sms nunggu tanda tangan, kesini yaaa..saya sudah di kampus..”. Maafkan, saya tidak menyimpan semua nomer telepon mahasiswa. Bukan pilih-pilih, mahasiswa di kampus total ada 400an orang. Mau disimpan semua?

Mahasiswa Galau

Ini juga bikin dosennya juga galau. Hari pertama sampai hari ke-14, pilihannya berubah terus. Saya tidak masalah berubah-ubah, tapi seringkali itu terjadi karena hal yang sepele, plus sebelumnya dia sudah minta di-approve. Akhirnya yang saya lakukan, semua permintaan approval sampai menjelang deadline, baru saya pastikan.
“Okay..sudah ya. Saya approve sekarang”
“Okay bu. Makasih bu”
Saya approve. Kemudian saya pergi. Di tengah jalan muncul SMS, “Maaf bu, maaf banget, matkuliah C dihapus lagi bu. Saya lupa kalau jadwalnya bentrok sama saya kerja,”
 
Mahasiswa Salah Dosen Wali

Ini biasanya panikan. Datang tiba-tiba, panik. Kemudian minta bimbingan. Setelah bimbingan, dia bilang, “Oh maaf bu, Dosen wali saya ternyata Bu X”. 

A promised Student (Kalau dibahasa-Indonesiakan versi saya, Mahasiswa Penjanji)
Ini mahasiswa yang semester sebelumnya dapat paket hemat, karena IPK-nya rendah, kemudian berjanji akan memperbaiki semua semester berikutnya, kemudian semester depan datang lagi dengan paket hemat, dan berjanji akan diperbaiki semester depannya. Begitu aja terus. Bonusnya adalah si mahasiswa biasanya membuat variasi penyebab. Kalau semester 3 misalnya, matkul X harus diulang karena dia tidak tahu apa sebabnya ujian akhirnya dapet E, maka semester 4, untuk matkul yang sama, dia lagi-lagi dapet E, kali ini karena “Tidak tahu, padahal saya masuk terus tapi nilai tugas saya tidak ada”. alasan lainnya, “Dicekal karena tidak masuk 4 kali, padahal saya sudah merasa tanda tangan absen”. “Dosennya plih kasih, saya dikasih nilai minimum”. Asyik juga sih…alasannya ada terus.

Mahasiswa Hantu
Ini mahasiswa yang tidak pernah kelihatan batang hidungnya. Kalau pengumuman berkumpul, tidak datang dengan beragam alasan, minta tanda tangan diwakilkan temannya, dan tak pernah konsultasi. Dipanggil lewat temannya tak pernah datang dengan beragam alasan. Saya menyerah sendiri. Tapi, isian KRS online selalu beres, minta approval melalui temannya. Ya sudahlah. Semoga bukan hantu beneran.
Tapi ya, untungnya tidak banyak yang seperti itu. 
 
Saya bersyukur dan mensyukuri bahwa mahasiswa bimbingan saya masih dalam batas normal. Dan bisa ditoleransi. Kasus-kasus di atas memang yang sangat luar biasa.

No comments: