Wednesday 22 June 2016

The Things I Hate

Sebagaimana mahasiswa punya hal-hal yang mereka benci dari dosen mereka, saya sebagai dosen juga punya daftar yang saya benci dari mahasiswa saya. Bukan kebencian personal. Hanya hal-hal yang sebenarnya saya tidak suka, tapi kadangkala harus pasrah saja kalau itu terjadi.

1.  Jadwal kuliah sudah diundur 30 menit tapi mahasiswa tetap datang 30 menit lebih lambat dari jam yang sudah diundur
Saya mencoba memahami kondisi mahasiswa yang bervariasi, jadi, saya mencoba empati. Maka saya mengajak mahasiswa untuk masuk kuliah 30 menit setelah jadwal sebenarnya. Asumsinya, semua senang dan riang. Asumsinya, semua datang dong. Tidak pake terlambat. Ternyata, asumsi saya salah sama sekali. Tetap saja ada dan banyak yang terlambat. Bahkan belum ada yang datang, dan saya menjadi dosen yang mencari-cari mahasiswa. Plissssssss. Ini memang masalah jam berapapun mulai kuliahnya, datanglah 30 menit sesudahnya.
 
2. Datang terlambat, ketok pintu, nanya boleh masuk apa tidak.
Kesengsaraan saya berlanjut. Setelah makan hati menunggu agar mahasiswa di kelas penuh. (Saya paling males kalau kelas yang terdaftar 25 terus yang masuk dua orang. Mending saya ajak main monopoli. Selalu ada drama sesudahnya. Biasanya pas sedang semangat berceloteh, tiba-tiba pintu diketok. Saya juga jadi berhenti (dan biasanya kalau sudah berhenti tiba-tiba, saya lupa kata terakhir saya apa). Pintu terbuka. ternyata, ada mahasiswa dengan sopan bertanya “Saya terlambat, saya boleh masuk bu?”. Mau jawab apa coba. Dijawab tidak, nanti dibilang tidak aspiratif. Bagi saya, telat ya telat aja. Kalau mau masuk, ya masuk aja. Kalau tidak masuk ya silahkan.
 
3. Di kelas, ngobrol sama teman, kedengaran keras.
Ini kebangetan. Saya selalu menyampaikan di awal, silahkan bawa minuman, atau permen, buat menghilangkan kantuk. Tentu dalam bentuk dan jumlah wajar. Prinsipnya, buat anda nyaman. Secara ekstrem, saya lebih suka mahasiswa saya tertidur sendiri daripada ngobrol. Nah, mahasiswa yang ngobrol inilah yang saya benci. Kalau ngobrol sendiri sih tidak masalah. Saya tinggal telepon orangtua anda dan bilang, “Pak/Bu, anak anda kayaknya gila. Masak di kelas saya, ngobrol sendiri…”. Silahkan ngobrol dengan teman anda. Tapi jangan ganggu kelas dan situasi kelas.
 
4. Ditanya apapun, tidak ada yang menjawab. Tapi memang menyebalkan kalau ditanya apapun, tidak ada yang memberikan respon. Saya jadi tak tahu apakah mahasiswa saya paham atau tidak. Tidak ada pertanyaan yang bodoh. Pertanyaan bodoh adalah pertanyaan juga. Ada dua asumsi ekstrim yang saya pakai, yaitu ada yang takut kalau bertanya itu dianggap bodoh, lalu ada yang takut dianggap sok pintar kalau bertanya. Dua-duanya bikin saya mati gaya. Kalau tidak, berikanlah respon atau sinyal bahwa anda masih hidup. Saya tidak mau kalau tiba-tiba anda semua berubah menjadi zombie dan menyerang saya. Saya hanya menyukai zombie dalam film. Tidak dalam kehidupan nyata. Lagipula, biasanya kalau kelas bisu begitu, berarti memberikan peluang bagi saya memberikan tugas atau quiz. Lalu, apakah kalau mahasiswa bertanya itu berarti saya tak akan memberikan tugas? Tugas ya tetaplah. 

Nah itu baru 4 yang saya tulis. Selanjutnya mengenai UJIAN. Dosen punya doa khusus untuk mahasiswa menjelang UJIAN.
 
"Semoga mahasiswa saya mendapat kekuatan, kemampuan dan kepandaian agar lulus pada semua mata kuliah yang saya ujikan hari ini. Sungguh, jangan biarkan mereka tidak lulus. Saya bosan dan teramat bosan melihat mereka setiap kali masuk, bengong dengan tatapan menerawang setiap semester. Sungguh, jangan berikan saya cobaan berat ini tiap semester. Namun jikapun mereka tetap tidak lulus, semoga mereka sadar bahwa masih ada mata kuliah lain yang bisa mereka ambil dan mereka nikmati setiap semester. Jangan hanya mata kuliah saya. Jika ini memang cobaan yang harus saya jalani, saya terima, tapi, mohon jangan tiap semester..."
 
:) itu khusus untuk mahasiswa yang berkali-kali tidak lulus. Intinya adalah dosen juga ingin anda lulus karena bosan yang anda rasakan harus ngulang setiap semester juga dirasakan oleh si dosen. Tapi ini tidak dalam semua kondisi. Sebagian saja.
 
 Seringkali muncul pertanyaan semacam ini pada saya. Atau jenis pertanyaan lain, “Apakah dosen bisa salah?” Untuk kedua pertanyaan itu saya jawab, Boleh. Dan Bisa. Bisa jadi pertanyaan ini diajukan oleh mahasiswa yang mungkin sempat konflik dengan dosennya, atau mahasiswa yang sangat terkesima dengan dosennya. Tapi, seringkali, di dunia nyata, banyak kali hal-hal aneh terjadi. Ini berkaitan dengan “salah” itu tadi. Bukan soal setan.

Dosen sangat boleh salah. Tentu dalam konteks tidak sengaja. Dosen bukan Tuhan. Lihat saja saat lebaran, atau hari besar agama lain, kan pada minta maaf. Pada kesalahan yang dilakukan. Yang saya asumsikan, harusnya tidak disengaja dong. 

Bagi saya, dosen itu media penyampai ilmu. Dia akan tergantung bagaimana dia mendapatkannya, dimana dia mendapatkannya atau apa yang dia dapatkan. Bisa jadi dan sangat mungkin jadi, dosen membaca buku yang sama dengan mahasiswa. Sumber yang sama. Yang beda bisa jadi kapan dan bagaimana dia mengolah sumber itu. Lha, buku aja bisa diralat, masak dosen tidak bisa salah.
 
Mahasiswa atau dosen sendiri seringkali menempatkan posisi dosen sebagai untouchable. Tidak tersentuh. Mungkin memang, ada masa sial saat mahasiswa berhadapan dengan dosen yang tak mau disalahkan, walau sebetulnya dia salah. Ada beberapa alasan kenapa ada dosen seperti itu:

Satu, dia lagi kurang piknik. Pikiran mumet. Hutang makin banyak. Gaji gak naik-naik. Jadinya tidak bisa berpikir jernih. Emosian. Bisa juga karena dia lagi M. Mumet. Kalau sudah begini, ya cari cara meyakinkan dia dengan tepat. Jangan langsung asal tembak. Kayak main layangan lah. Ulur Tarik, ulur Tarik. Kalau mahasiswanya sama ngototnya ya percuma.

Kedua, mungkin memang mahasiswanya yang salah. Tanpa didukung argumentasi yang bagus pula. Dosennya punya argumentasi dan alasan yang kuat. Sesabar apapun dosennya, kalau mahasiswanya sudah salah dan ngeyel ya biasanya memang berakhir tragis pada mahasiswa dan dosen. Si mahasiswa diskak di kelas, dosen dicela di luar kelas. Kalau kayak begini, dosennya juga musti sabar. Mahasiswanya musti nyadar. Tapi kalau masih lanjut, ya sudahlah.

Ketiga, mungkin dosennya memang punya pikiran kayak tembok. TIdak mau disalahkan. Ini seringkali berkaitan dengan reputasi. Atau lebih parah, gengsi. Ini adalah dosen yang punya prinsip “Dosen tak pernah Salah. Kalau dosen Salah, kembali pada kalimat pertama”. Berhadapan dengan dosen begini ya, saya sih menyarankan mahasiswanya ngalah. Karena dalam situasi dan budaya di kelas di negeri ini, saya kok tidak yakin kalau dosen tersebut akan mau menerima. Mengalah, bukan berarti kalah kan? Mengalah kan bisa berarti tidak menang. haha... Yang saya takutkan adalah collateral damage-nya. Yang kena imbasnya teman anda yang lain. Atau hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan akademis. Tapi kalau anda merasa cukup mampu menampung konsekuensi ajaib yang akan terjadi, ya tidak apa-apa. Bantahlah terus. Ini memang sulit. Kayak penyakit. Selamat datang di dunia nyata.

Iya, mungkin anda akan merasa kenapa harus mahasiswa yang mengalah. Sulit menjelaskan. Tapi kondisi saat ini, menurut saya, agak sulit dan kurang memberikan peluang anda untuk berbantahan dengan keras. Kita sejak awal didoktrin untuk taat, manut. Debat konstruktif tak diajarkan.

Tapi, jangan menyerah, lalu kemudian anda ngambek, banting tas, masuk kamar, banting pintu. Jangan. Itu nanti mirip sinetron picisan. Apalagi sambil teriak membelalak, “Apaaaaaa? Kecelakaaaaan?” Lalu telpon dibanting, meja dibuang sambal nangis kayak matanya diculek bawang merah sekilo.

Tapi ada juga mahasiswa yang sangat terkesima dengan dosennya. Mungkin kalo dosennya bilang, dalam hitungan ketiga anda akan tertidur, langsung ngorok deh. Atau “begitu anda mendengar tepukan tangan saya maka isi kepala anda akan hilang.” Emangnya zombie?. Saking terkesimanya, semua penjelasan dosennya dimakan mentah-mentah. Tidak dicerna atau tidak dipertanyakan. Tidak semua penjelasan dosen itu benar begitu saja. Ilmu pengetahuan itu dinamis. Buku yang dibaca sama. Bisa jadi interpretasi berbeda. Itulah dialektika terjadi. Untuk belajar sama-sama. Sebagai sebuah proses.

Lihat sekitar anda. Lihat mata kuliah yang anda ambil. Akan selalu ada dosen yang dengan sewajarnya berkata, “Iya, maaf, saya salah. Pendapat kamu benar. Buku itu memang tidak menjelaskan .. blab la bla”. Pasti akan ada selalu dosen yang dengan senang hati berkata, “Wah, maaf. Saya belum tahu masalah itu. Mungkin kamu bisa membantu menjelaskan apa yang dimaksud… blab la bla”. Pasti ada. Dunia tak melulu hitam.

Persoalannya, sering juga terjadi, dosennya siap diskusi, mahasiswanya cuman bisa mantuk-mantuk. Entah tak mengerti atau tak perduli. Sama saja hasilnya. 
 
Jadi, mulailah liat dosen-dosen anda. Seperti apakah dia…??? 

Salah satuhal yang bikin sakit kepala dosen adalah saat masa KRS tiba. Ini saat mahasiswa menentukan rencana studi pada masa semester berjalan berikutnya. Ini saat yang tiba-tiba membuat dosen pusing kepala juga. Karena hal-hal berikut ini:

Pertanyaan klasik mahasiswa yang malas mikir: “Semester ini saya harus ambil apa?”

Yang kuliah siapa? Harusnya tahu dong semester ini mau ambil apa. Ini sepert kamu berdiri di depan penjual duren dan bertanya, “Saya harus beli apa ya?”. (*langsunglemparduren). Seorang Mahasiswa uddah tahu persis harusnya mau ambil apa, mau kuliah apa. Pertanyaan klasik juga “Bu, saya tidak mau ambil matkul A, tapi kan wajib, jadi gimana dong?’
Awalnya, saya pikir ini pertanyaan retoris. Tapi, dugaan itu salah saat sang mahasiswa ternyata menunggu jawaban saya. Ini sama kayak kamu berdiri depan polisi sambil berkata, “Pak polisi, saya tidak mau pakai helm, tapi kan wajib pake helm, kalau tidak pake helm, saya pasti ditangkap”. Nah, tanya aja terus sampai Metallica bikin lagu keroncong! Intinya, Kalau udah tahu wajib, masa musti ditanya lagi?

Mahasiswa kebanyakan SKS. Penginnya diambil semua.

Saya senang kalau mahasiswa saya pintar, pandai. Salah satu penanda sederhananya adalah karena nilai semester sebelumnya bagus, maka dia bisa mengambil SKS maksimal. Biasanya 24 sks, yang artinya kurang lebih dia bisa ambil 7-8 mata kuliah. 8 matakuliah seminggu itu banyak bro. Tidak harus dipaksakan. Hidup itu tak hanya kuliah. Di kelas. Apalagi kalau dosennya 4L (Lu lagi, Lu Lagi). Hidup perlu divariasikan. Ikut organisasi, ikut lomba atau prestasi lainnya. 
 
Mahasiswa kebanyakan SKS, bingungan.

Kekacauan poin sebelumnya akan lebih sempurna jika kalian juga bingungan. “Saya ambil matkul A aja deh, tapi kan itu tugasnya banyak?”, atau “Matkul C asyik, tapi kan ndak wajib?” atau, “matkul B boleh juga, tapi dosen-nya, ndak ah”, “Matkul K bentrok sama matkul G dan matkul X, duh gimana ya?” Ini bikin dosen kehabisan opsi saran. “terus, gimana? Mau ambil matkul mana aja?”
“Udah bu, saya penuhin 24 SKS. Fix.”
“Ok, final ya ini”
“Ya bu. Tapi kalau ada satu yang ndak lulus, gimana bu? IP saya jadi turun dong”
!(*@U#U@#U@U#O@U#@(

Mahasiswa SKS minimum, Ambisi maksimum

Saya kadang kasihan, tapi mahasiswa tipe begini kadang perlu sadar diri. Sudah tahu jumlah SKS minimum, tapi ambisinya maksimum. Saya paham dan mendukung kalau ambisi itu perlu buat memaksimalkan kemampuan, tapi ya realistis juga. Udah gitu, tidak nyadar, kadang hal itu disebabkan karena mereka juga. Lalai di semester sebelumnya.

Mahasiswa last minute.

Ini mahasiswa yang merasa dunia milik mereka dan dosennya cuman numpang. Proses konsultasi dan bimbingan diminta pada saat-saat terakhir, menjelang penutupan. Tidak tanggung-tanggung, mereka biasanya memerintahkan dosennya untuk di kampus atau ada untuk mereka setiap saat. “Bu, saya ke kampus ya, tolong disapprove bu, hari ini terakhir dikumpul”, atau “Ibu kok tidak ke kampus? Saya nunggu untuk diaprove bu. Tolong yang cepat ya bu” Kayak gini, dosen wali merasa boss-nya jadi tambah banyak. Perasaan kemaren-kemaren cuman dekan sama rektor,  kok bisa nambah jadi anak ini?

Mahasiswa ngetop

Biasanya ditandai dengan SMS “Ibu, dimana? Saya di kampus nunggu tanda tangan”. Situ siapa? Nama..namaaaa… terus saya disuruh teriak gitu di kampus, “Hoi, yang kirim sms nunggu tanda tangan, kesini yaaa..saya sudah di kampus..”. Maafkan, saya tidak menyimpan semua nomer telepon mahasiswa. Bukan pilih-pilih, mahasiswa di kampus total ada 400an orang. Mau disimpan semua?

Mahasiswa Galau

Ini juga bikin dosennya juga galau. Hari pertama sampai hari ke-14, pilihannya berubah terus. Saya tidak masalah berubah-ubah, tapi seringkali itu terjadi karena hal yang sepele, plus sebelumnya dia sudah minta di-approve. Akhirnya yang saya lakukan, semua permintaan approval sampai menjelang deadline, baru saya pastikan.
“Okay..sudah ya. Saya approve sekarang”
“Okay bu. Makasih bu”
Saya approve. Kemudian saya pergi. Di tengah jalan muncul SMS, “Maaf bu, maaf banget, matkuliah C dihapus lagi bu. Saya lupa kalau jadwalnya bentrok sama saya kerja,”
 
Mahasiswa Salah Dosen Wali

Ini biasanya panikan. Datang tiba-tiba, panik. Kemudian minta bimbingan. Setelah bimbingan, dia bilang, “Oh maaf bu, Dosen wali saya ternyata Bu X”. 

A promised Student (Kalau dibahasa-Indonesiakan versi saya, Mahasiswa Penjanji)
Ini mahasiswa yang semester sebelumnya dapat paket hemat, karena IPK-nya rendah, kemudian berjanji akan memperbaiki semua semester berikutnya, kemudian semester depan datang lagi dengan paket hemat, dan berjanji akan diperbaiki semester depannya. Begitu aja terus. Bonusnya adalah si mahasiswa biasanya membuat variasi penyebab. Kalau semester 3 misalnya, matkul X harus diulang karena dia tidak tahu apa sebabnya ujian akhirnya dapet E, maka semester 4, untuk matkul yang sama, dia lagi-lagi dapet E, kali ini karena “Tidak tahu, padahal saya masuk terus tapi nilai tugas saya tidak ada”. alasan lainnya, “Dicekal karena tidak masuk 4 kali, padahal saya sudah merasa tanda tangan absen”. “Dosennya plih kasih, saya dikasih nilai minimum”. Asyik juga sih…alasannya ada terus.

Mahasiswa Hantu
Ini mahasiswa yang tidak pernah kelihatan batang hidungnya. Kalau pengumuman berkumpul, tidak datang dengan beragam alasan, minta tanda tangan diwakilkan temannya, dan tak pernah konsultasi. Dipanggil lewat temannya tak pernah datang dengan beragam alasan. Saya menyerah sendiri. Tapi, isian KRS online selalu beres, minta approval melalui temannya. Ya sudahlah. Semoga bukan hantu beneran.
Tapi ya, untungnya tidak banyak yang seperti itu. 
 
Saya bersyukur dan mensyukuri bahwa mahasiswa bimbingan saya masih dalam batas normal. Dan bisa ditoleransi. Kasus-kasus di atas memang yang sangat luar biasa.

Dosen Bukan Cita-cita tetapi Panggilan Hati

Tulisan ini memang tulisan yang datangnya tiba-tiba. Dibuat saat saya seharusnya mengetik hal yang lebih penting. Laporan revisi penelitian saya. Sudahlah. Anda pasti tahu kenapa ini terjadi bukan? kalau Anda tidak pernah melakukan ini, berarti freaking smart and discipline, dan mahasiswa saya, sudahlah, jangan komentar. anda bahkan juga sering.

Jadi, begini. Selama ini sudah terlalu banyak tulisan soal mahasiswa. Semua menulis soal mahasiswa. Semua berkata soal mahasiswa. kalau soal jomblo, ndak lulus, belum kawin, pasti soal mahasiswa. Padahal, ada juga loh dosen yang jomblo. Ada juga loh dosen yang ndak lulus-lulus. Iya, itu DOSEN ...
Saya merasa dosen diperlakukan beda. Bukan terhormat. bagaimana bisa terhormat, kalau saat kuliah, saya menemukan status mahasiswa yang berbunyi “Dosen ini bicara apa sih di depan?”. untung bukan kuliah saya. Lalu, kalau mahasiswanya ndak lulus, pasti yang disalahkan dosennya.

Mungkin karena takut. Bisa jadi. Nah, takut sama dosen ini bahaya sebenarnya. Artinya akan ada masa kalau mahasiswa tidak takut lagi sama dosennya. dan itu lebih complicated.
Jadi, ya, saya akhirnya menulis soal dosen. Kebetulan saya juga dosen. Saya juga pernah menjadi mahasiswa. Jadi tahu soal dosen dari perspektif mahasiswa. Tapi, bukan berarti tulisan ini akan memberikan generalisasi pada semua dosen.

Dosen bukan cita-cita saya. Siapa orang yang punya cita-cita jadi dosen? Seumur hidup, saya belum pernah menemukan anak kecil yang dengan pandangan mata tajam percaya diri dan membusungkan dada menjawab bangga saat ditanya, apa cita-cita kamu saat besar nanti. “Saya akan menjadi dosen,” (diiringi music heroic dan bendera berkibar-kibar di belakang). Nothing. Tidak ada. Dosen itu bukan cita-cita. Setidaknya bagi saya. Tidak pernah ada cita-cita jadi dosen dalam kamus hidup saya waktu itu. Saya memilih menjadi seorang end user profesional sebagai tujuan kuliah bukan untuk menjadi dosen.

Pilihan menjadi dosen muncul, sejujurnya, bukan pilihan saya. Pilihan itu datang saat saya sudah tidak nyaman dengan profesi sebelumnya. Apa ya pekerjaan yang tidak membuat saya terikat jam kantor, jenjang karir yang jelas dan pastinya bisa sambil beramal. Dosen saya menawari saya karena sedang kekurangan dosen. Setelah berdiskusi dengan keluarga, keluarga mendukung. Sayapun berkata, "Iya". 
Ya, terjadilah. Begitu saja. Tiba-tiba. Saya jadi dosen. Saya studi lanjut S2. Saya resmi menjadi “honorer” dosen. Itu berlangsung selama kurang lebih 3 tahun akibat terhambat oleh sistem dan birokrasi. Bukan perjuangan yang mudah. Suka duka lahir batin dihadapi dengan kesabaran yang ekstra. Berangkat dari ZERO.
Kenapa saya mau jadi dosen. Itu pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan cepat. Miriplah dengan bertanya berapa hasil 45 dikali 765 dibagi 346 dikurangi 56. Susah kan? Musti mikir dulu kan? Atau sama dengan kalau mahasiswa ditanya dosennya. “kalian milih mana, dapat tugas bikin makalah 10 halaman apa dengerin kuliah saya lima jam nonstop”. Pasti susah juga menjawab seketika. Musti mikir dulu. Walau hasilnya sama. :D

Alasannya sudah pernah saya tulis dalam postingan saya sebelumnya yang berjudul "Miyapah Quw Jadi Dosen???"  
Catatan: tulisan ini semua adalah pandangan dan pengalaman pribadi saya, tidak mengatasnamakan institusi apapun.

Kadang, saya merasa (dan seringkali perasaan saya salah), saat awal menjadi dosen, saya seakan berpindah kasta. Tahu kasta kan? Bukan yang jogged-jogged reggae itu, itu Rasta. Tiba-tiba, semua orang menyebut berbeda. Semua menyebut kata “Buk”. Ini aneh bagi saya. Sungguh tidak nyaman rasanya. Serasa ada jarak. Mahasiswa saya selalu menyapa saya dari jarak setidaknyanya satu meter. Memang belum ada yang menyapa saya di depan muka saya begitu sih.

Selain berubah panggilan, kadang juga sikap dan penilaian. Semua menjadi berubah karena saya dosen. Bagi beberapa orang, pekerjaan dosen mungkin dianggap masuk “kasta” baru. Padahal, itu hanya pekerjaan. Kalau dikaitkan dengan moral, semua pekerjaan punya moralnya sendiri. 
Salah satu love-hate relationship antara dosen dan mahasiswa tercipta dari pertanyaan “Ada yang tidak paham?”

Pertanyaan tersebut pasti sering dan hampir selalu ditanyakan dosen kepada mahasiswa di kelas. Banyak dosen yang bertanya “ada yang tidak paham?” atau “ada yang mau ditanyakan?”. Bayangkan, sejak saya SD, SMP, SMA, dan mahasiswa mendengar pertanyaan itu di kelas. Dan kini, saya sendiri harus menanyakan hal yang sama? Sebetulnya, dosen punya alasan kenapa menanyakan hal itu. Percayalah. Dosen selalu punya alasan untuk semua hal. Termasuk hal-hal yang sesungguhnya tidak beralasan.

Alasan pertama, adalah sebagai jeda. Jeda ini bisa bermacam-macam. Seringkali antara materi satu dengan materi lainnya perlu jeda. Lebih universal kalau ditanyakan hal ini. Dengan bertanya “ada yang tidak paham”, dosen itu punya waktu untuk menyiapkan materi berikutnya. Minimal sehembus dua hembus nafas. Maka, bantulah dosen anda dengan satu atau dua pertanyaan. Bisa kejadian loh, kalau anda tidak bertanya, dosennya bisa kehabisan kata. Cukup pertanyaan simple. Biasanya dosen begini dosen yang sangat berhati-hati dalam mengeluarkan penjelasan. Jadi perlu jeda.

Alasan kedua, untuk memastikan anda ada. Iya bener. Kadang-kadang dosen itu tidak sadar kalau seluruh mahasiswanya sudah tidur. Atau lebih parah, sudah tidak ada di kelas. bayangkan perasaan dosennya, saat masuk kelas penuh, selesai ngoceh dua jam, sudah hilang semua. Nah untuk memastikan, dosen perlu bertanya. pertanyaan standard ya, “ada yang tidak paham?’. Iya, walaupun tidak ada yang menjawab, setidaknya sudah bertanya. Tipe begini biasanya, kalaupun tidak ada yang menjawab, dia akan lanjut lagi menjelaskan.

Alasan ketiga, untuk memberikan anda persiapan sebelum terjadi kejadian yang tidak akan anda harapkan. Ini biasanya pada dosen yang suka serangan mendadak. Jadi, kalau muncul pertanyaan ini, sebaiknya menyiapkan pertanyaan. Setidaknya satu dua hal yang terkait dengan materi. karena kalau tidak, biasanya dosen ini akan menyambung dengan hujanan perintah seperti “baik karena sudah paham, mari kita test” atau “okay, buat essay 20 halaman dikumpul besok..” Malah dapet tugas hanya karena ndak bertanya.

Alasan keempat, untuk memastikan bahwa materinya tidak salah. Ini biasanya pada dosen pelupa. Setelah dua jam anda mendapat materi sangat wajar anda bertanya. Jadi dosen itu minta bantuan anda untuk memastikan bahwa satu, materinya tidak salah; dua, kelasnya tidak salah; tiga, dosennya tidak salah. Anda akan sangat membantu.

Alasan kelima, untuk meyakinkan diri, bahwa dosen itu sudah di jalan yang benar. Saya waktu awal jadi dosen, kelas pertama saya berisi bapak-bapak dan ibu-ibu yang latar belakang guru dan karyawan yang sudah punya jabatan dan posisi bagus ditempat kerjanya, sudah senior pengalaman dari saya. Saat pertanyaan itu saya munculkan, saya melihat baik-baik setiap wajah dengan harapan akan ada wajah simpatik yang akan membesarkan hati.

Alasan keenam, mencari alasan menyudahi kuliah. Ini biasanya kalau si dosen lagi hobi marathon. Nyerocos terus sampai lima menit menjelang jam kuliah berakhir, baru si dosen mengeluarkan pertanyaan pamungkas. Biasanya sambil merapikan buku, menghapus papan tulis, menghidupkan hape. Dan mahasiswa yang cerdas dan tidak kepengin dimarahin temannya, tentu tak akan bertanya. Perlu rasanya, variasi dalam menyudahi mata kuliah. Kalau saya menyudahi kuliah dengan tugas. Namun, karena saya bosan menanyakan pertanyaan itu, saya biasanya menanyakan “ada yang paham?”. Hasilnya, luar biasa. Tidak ada yang menjawab. Di situlah saat saya merasa harus pulang ke rumah nangis guling-guling. Hehehehe :D

Tugas dosen itu lebih berat daripada mahasiswa. Jadi kalau mahasiswa mengeluh banyak tugas, mungkin karena belum berada di posisi dosen. Kenapa saya berani mengatakan seperti itu, ya karena saya dosen. Saya waktu mahasiswa juga pernah memprotes dosen saya (dalam hati tentunya), atau ngerumpi dengan sesame teman sependeritaan tentang salah satu dosen. Atau semua dosen. Sudahlah, saya tahu, bahan cacian, kutukan, dan segala sumpah serapah mahasiswa pasti ada nama dosen dalam salah satu list penerimanya. Atau mungkin satu-satunya.

Misalnya saja, mahasiswa, secara kepantasan saja, paling pol hanya mengingat dan mengenal nama 2 dosen saja. Minimal di prodi sendiri. Kalau sering bergaul, mungkin lebih. Atau kalau sering kesasar kelas, lebih banyak lagi. Dari dua itu, yang paling diingat tentu dosen yang namanya paling sering terdengar. 

Kembali lagi soal nama. Mahasiswa hanya menghafal 2 nama. Lhah, dosennya, harus menghafal minimal 100 nama untuk satu angkatan. Belum selesai, sudah muncul 100 lagi. Kalau dihitung, dalam empat tahun harus menghafal nama 400 mahasiswa. Apalagi ketambahan mahasiswa abadi yang tidak lulus-lulus. Jadi, kalau ada dosen mampu mengingat banyak nama, ada beberapa kemungkinan: satu: ingatannya luar biasa, dua: anda mahasiswa abadi yang tidak lulus-lulus, tiga: anda mahasiswa yang tiap kuliah hanya masuk hari pertama, setelah itu ngilang. Empat; dosen anda cuman spekulasi manggil nama secara acak.

Lalu, mahasiswa yang cuman menghafal 2 nama mengeluh? Nah, walau si dosen sudah punya nama, mahasiswa yang ingatannya lemah atau memang sengaja, selalu punya cara menamakan dosennya. Sudah tahu namanya Pak Anu atau Bu Anu, tetap saja menyebut “Pak agama, atau Bu teori”. Apalgi kalau lagi jengkel karena habis dikasih hukuman bikin ringkasan 30 halaman, langsung nama dosennya diganti.
Lalu dosennya bisa apa? Membalas dengan mengganti nama juga? Mana bisa? 400 orang. Gimana mau ganti namanya? Paling cuman salah panggil, “Coba kamu, Anton namamu kan?”. Si mahasiswa menjawab, “Loh, bukan pak, nama saya wati”. Nah… paling apes, dosennya memanggil “nak..”. Jadi kalau bicara sesame dosen, jadi lucu kalau ternyata nama mahasiswa yang dimaksud berbeda. Gimana g, nama Budi misalnya, bisa ada lima Budi di satu angkatan, dan total 12 Budi di seluruh 4 angkatan. Nyebutnya pun harus spesifik. Misalnya Budi yang kumisan, Budi yang cantik, Budi yang Bengal. 

Tapi kekacauan soal nama itu sangat terasa saat saya menggunakan social media sebagai alat komunikasi. Setiap bimbingan pasti harus ekstra keras menebak. Iya menebak. Siapa ya yang akun facebooknya bernama “Indah CantiexChelalu” atau “Iwan RhuphawanMeNaNTIhaRAPAN” itu. Foto di akunnya juga sama semua. Kadang isinya foto jilbaaaab semua, maklum jualan online jilbab. Atau foto kakii…semua, hobi self-foot. Di twitter juga sama. Kadang saya bingung. Saya juga bingung dengan mahasiswa yang SKSD dengan mengirimkan pesan melalui WA “Bu, besok bisa bimbingan? Udah gitu aja. Adanya cuman nomer. Tidak ada namanya. Ada juga dikasih penutup, “Ditunggu besok ya. Bu”.

Jadi, maafkan saya kalau saya tidak bisa mengingat semua nama mahasiswa saya. Lah, kalau semua saya minta pake name-tag juga repot. 

Tapi saya percaya, proses mengingat nama mahasiswa itu akan menjadi lebih baik dan cepat saat membuat relasi antara keduanya seperti teman. Teman yang baik ada level respek di sana. Bukan semata hormat atau takut. Tapi respek. Bukan karena posisi dosen dan mahasiswa, tapi karena relasi yang saling berkontribusi.

Negeri ini sedang ramai soal gelar. Ini bukan isu baru. Sebenarnya. Tapi, entahlah. Ini akan tetap terjadi jika orang masih mendewakan gelar.

Gelar hadir dalam beragam bentuk. Yang relevan maupun tidak relevan. Gelar di depan dan di belakang nama dikejar-kejar. Tentu ini adalah apresiasi dari kerja keras seseorang menempuh pendidikan. Sebagai bagian dari penandaan. Tidak apa-apa sebenarnya. Wajar. Menjadi tidak wajar kalau dikejar sebagai yang utama. Bukan esensi keilmuannya. Akhirnya jadi tak wajar. Apalagi langsung dikaitkan dengan pakar dan kepakaran. Gelar menjadi relevan jika ditempatkan sesuai porsinya. Kepakaran, menurut saya tak otomatis dengan gelar yang melekat. Kecuali beberapa bidang keilmuan yang memang harus memerlukan untuk ditampilkan agar secara yuridis, sesuai dengan pekerjaannya. Misalkan, dokter, tentu harus memasang gelarnya. Dr,Anu, SpB apa misalnya. Tentu aneh kalau ada nama IGAK S.Sos. membuka praktek umum dan melayani suntik KB.

Mendapatkan gelar ini memang penting. Sekali lagi sebagai penanda akhir. Saya tidak menyebutkan gelar tidak penting. Tapi beberapa orang melihat dari perspektif yang berbeda. Gelar mutlak menjadi ukuran kesuksesan atau malah ukuran pembanding dengan orang lain. Bagi saya, punya gelar tak selamanya membuat kita lebih pintar dari mereka yang tak bergelar. Punya gelar Master, doctor atau professor tak harus membuat kita lebih tinggi dari yang lain. Gelar itu penanda akhir pada bidang ilmu yang kita tekuni. Atau malah pada satu subyek riset yang kita lakoni. Gelar, seringkali saya posisikan sebagai bonus. Bonus dari kerja keras kita sekolah.

Yang celaka seringkali memang ada orang yang sudah bergelar lengkap. (dalam dunia akdemis ya tentu S1, S2, S3) lalu menganggap dirinya menguasai semua. Orang lain cuman tahu sedikit. Ini orang yang hidup dalam fatamorgana. Mending dihindari. Daripada sakit hati.
Kehidupan nyata tidak bergantung gelar yang kita punya. Apalagi dalam relasi kolegial dalam satu departemen atau unit kerja. Bagi saya, gelar master yang saya dapat tidak otomatis membuat saya lebih pintar atau diatas kolega saya yang belum S2. Lalu membuat dunia hanya milik saya yang lainnya hanya numpang. Bagi saya omong kosong kalau ada yang seperti itu. Itu menurut saya feodalisme akademik. Dunia akademik yang menerapkan feodalisme.

Saya memperlakukan gelar sewajarnya. Tidak terlalu silau zing..zing..dengan orang yang bergelar. Apalagi banyak. Tapi mengapresiasi, bahwa dia sudah melalui proses sekian lama untuk mendapatkan itu. Karena gelar bisa bikin kebakar. Kalau sudah kebakar, habis semua. Nama pun tak punya akhirnya. Semua orang bisa dapat gelar. Tapi tak semua orang benar-benar pintar. Karena kadang, orang pintar pun tak bergelar.