Sebagaimana
mahasiswa punya hal-hal yang mereka benci dari dosen mereka, saya
sebagai dosen juga punya daftar yang saya benci dari mahasiswa saya.
Bukan kebencian personal. Hanya hal-hal yang sebenarnya saya tidak suka,
tapi kadangkala harus pasrah saja kalau itu terjadi.
1. Jadwal kuliah sudah diundur 30 menit tapi mahasiswa tetap datang 30 menit lebih lambat dari jam yang sudah diundur
Saya
mencoba memahami kondisi mahasiswa yang bervariasi, jadi, saya
mencoba empati. Maka saya mengajak mahasiswa untuk masuk kuliah 30 menit setelah jadwal sebenarnya. Asumsinya, semua senang dan riang. Asumsinya, semua datang dong. Tidak pake terlambat. Ternyata, asumsi saya salah sama sekali. Tetap saja
ada dan banyak yang terlambat. Bahkan belum ada yang datang, dan saya menjadi dosen yang mencari-cari mahasiswa. Plissssssss. Ini memang masalah jam
berapapun mulai kuliahnya, datanglah 30 menit sesudahnya.
2. Datang terlambat, ketok pintu, nanya boleh masuk apa tidak.
Kesengsaraan saya berlanjut. Setelah makan hati menunggu agar mahasiswa di kelas penuh. (Saya paling
males kalau kelas yang terdaftar 25 terus yang masuk dua orang. Mending
saya ajak main monopoli. Selalu ada drama
sesudahnya. Biasanya pas sedang semangat berceloteh, tiba-tiba pintu
diketok. Saya juga jadi berhenti (dan biasanya kalau sudah
berhenti tiba-tiba, saya lupa kata terakhir saya apa). Pintu terbuka. ternyata, ada mahasiswa
dengan sopan bertanya “Saya terlambat, saya boleh masuk bu?”. Mau
jawab apa coba. Dijawab tidak, nanti dibilang tidak aspiratif. Bagi
saya, telat ya telat aja. Kalau mau masuk, ya masuk aja. Kalau tidak
masuk ya silahkan.
3. Di kelas, ngobrol sama teman, kedengaran keras.
Ini kebangetan. Saya selalu menyampaikan di awal, silahkan bawa minuman,
atau permen, buat menghilangkan kantuk. Tentu dalam bentuk dan jumlah
wajar. Prinsipnya, buat
anda nyaman. Secara
ekstrem, saya lebih suka mahasiswa saya tertidur sendiri daripada
ngobrol. Nah, mahasiswa yang ngobrol inilah yang saya benci. Kalau
ngobrol sendiri sih tidak masalah. Saya tinggal telepon orangtua anda dan
bilang, “Pak/Bu, anak anda kayaknya gila. Masak di kelas saya,
ngobrol sendiri…”. Silahkan ngobrol dengan teman anda. Tapi jangan
ganggu kelas dan situasi kelas.
4. Ditanya apapun, tidak ada yang menjawab. Tapi memang menyebalkan kalau ditanya apapun, tidak ada yang memberikan
respon. Saya jadi tak tahu apakah mahasiswa saya paham atau tidak.
Tidak ada pertanyaan yang bodoh. Pertanyaan bodoh adalah pertanyaan
juga. Ada dua asumsi ekstrim yang saya pakai, yaitu ada yang takut kalau
bertanya itu dianggap bodoh, lalu ada yang takut dianggap sok pintar
kalau bertanya. Dua-duanya bikin saya mati gaya. Kalau tidak, berikanlah
respon atau sinyal bahwa anda masih hidup. Saya tidak mau kalau
tiba-tiba anda semua berubah menjadi zombie dan menyerang saya. Saya
hanya menyukai zombie dalam film. Tidak dalam kehidupan nyata. Lagipula,
biasanya kalau kelas bisu begitu, berarti memberikan peluang bagi saya
memberikan tugas atau quiz. Lalu, apakah kalau mahasiswa bertanya itu
berarti saya tak akan memberikan tugas? Tugas ya tetaplah.
Nah itu baru 4 yang saya tulis. Selanjutnya mengenai UJIAN. Dosen punya doa khusus untuk mahasiswa menjelang UJIAN.
"Semoga mahasiswa saya mendapat kekuatan, kemampuan dan kepandaian agar
lulus pada semua mata kuliah yang saya ujikan hari ini. Sungguh, jangan
biarkan mereka tidak lulus. Saya bosan dan teramat bosan melihat mereka
setiap kali masuk, bengong dengan tatapan menerawang setiap semester.
Sungguh, jangan berikan saya cobaan berat ini tiap semester. Namun jikapun mereka tetap tidak lulus, semoga mereka sadar bahwa masih
ada mata kuliah lain yang bisa mereka ambil dan mereka nikmati setiap
semester. Jangan hanya mata kuliah saya. Jika ini memang cobaan yang
harus saya jalani, saya terima, tapi, mohon jangan tiap semester..."
:) itu khusus untuk mahasiswa yang berkali-kali tidak lulus. Intinya adalah dosen juga ingin anda lulus karena bosan yang anda rasakan harus ngulang setiap semester juga dirasakan oleh si dosen. Tapi ini tidak dalam semua kondisi. Sebagian saja.
Seringkali muncul pertanyaan semacam ini pada saya. Atau jenis
pertanyaan lain, “Apakah dosen bisa salah?” Untuk kedua pertanyaan itu
saya jawab, Boleh. Dan Bisa. Bisa jadi pertanyaan ini diajukan oleh
mahasiswa yang mungkin sempat konflik dengan dosennya, atau
mahasiswa yang sangat terkesima dengan dosennya. Tapi, seringkali, di
dunia nyata, banyak kali hal-hal aneh terjadi. Ini berkaitan dengan
“salah” itu tadi. Bukan soal setan.
Dosen sangat boleh salah. Tentu dalam konteks tidak sengaja. Dosen bukan
Tuhan. Lihat saja saat lebaran, atau
hari besar agama lain, kan pada minta maaf. Pada kesalahan yang
dilakukan. Yang saya asumsikan, harusnya tidak disengaja dong.
Bagi saya, dosen itu media penyampai ilmu. Dia akan tergantung
bagaimana dia mendapatkannya, dimana dia mendapatkannya atau apa yang
dia dapatkan. Bisa jadi dan sangat mungkin jadi, dosen membaca buku yang
sama dengan mahasiswa. Sumber yang sama. Yang beda bisa jadi kapan dan
bagaimana dia mengolah sumber itu. Lha, buku aja bisa diralat, masak
dosen tidak bisa salah.
Mahasiswa atau dosen sendiri seringkali menempatkan posisi dosen sebagai
untouchable. Tidak tersentuh. Mungkin memang, ada masa sial saat mahasiswa
berhadapan dengan dosen yang tak mau disalahkan, walau sebetulnya dia
salah. Ada beberapa alasan kenapa ada dosen seperti itu:
Satu, dia lagi kurang piknik. Pikiran mumet. Hutang makin
banyak. Gaji gak naik-naik. Jadinya tidak bisa
berpikir jernih. Emosian. Bisa juga karena dia lagi M. Mumet. Kalau
sudah begini, ya cari cara meyakinkan dia dengan tepat. Jangan langsung
asal tembak. Kayak main layangan lah. Ulur Tarik, ulur Tarik. Kalau
mahasiswanya sama ngototnya ya percuma.
Kedua, mungkin memang mahasiswanya yang salah. Tanpa didukung
argumentasi yang bagus pula. Dosennya punya argumentasi dan alasan yang
kuat. Sesabar apapun dosennya, kalau mahasiswanya sudah salah dan
ngeyel ya biasanya memang berakhir tragis pada mahasiswa dan dosen. Si
mahasiswa diskak di kelas, dosen dicela di luar kelas. Kalau kayak begini, dosennya
juga musti sabar. Mahasiswanya musti nyadar. Tapi kalau masih lanjut,
ya sudahlah.
Ketiga, mungkin dosennya memang punya pikiran kayak tembok. TIdak
mau disalahkan. Ini seringkali berkaitan dengan reputasi. Atau lebih
parah, gengsi. Ini adalah dosen yang punya prinsip “Dosen tak pernah
Salah. Kalau dosen Salah, kembali pada kalimat pertama”. Berhadapan
dengan dosen begini ya, saya sih menyarankan mahasiswanya ngalah. Karena
dalam situasi dan budaya di kelas di negeri ini, saya kok tidak yakin
kalau dosen tersebut akan mau menerima. Mengalah, bukan berarti kalah
kan? Mengalah kan bisa berarti tidak menang. haha... Yang
saya takutkan adalah collateral damage-nya. Yang kena imbasnya teman
anda yang lain. Atau hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan akademis. Tapi
kalau anda merasa cukup mampu menampung konsekuensi ajaib yang akan
terjadi, ya tidak apa-apa. Bantahlah terus. Ini memang sulit. Kayak
penyakit. Selamat
datang di dunia nyata.
Iya, mungkin anda akan merasa kenapa harus mahasiswa yang mengalah.
Sulit menjelaskan. Tapi kondisi saat ini, menurut saya, agak
sulit dan kurang memberikan peluang anda untuk berbantahan dengan keras.
Kita sejak awal didoktrin untuk taat, manut. Debat konstruktif tak
diajarkan.
Tapi, jangan menyerah, lalu kemudian anda ngambek, banting tas, masuk
kamar, banting pintu. Jangan. Itu nanti
mirip sinetron picisan. Apalagi sambil teriak membelalak, “Apaaaaaa?
Kecelakaaaaan?” Lalu telpon dibanting, meja dibuang sambal nangis kayak
matanya diculek bawang merah sekilo.
Tapi ada juga mahasiswa yang sangat terkesima dengan dosennya. Mungkin
kalo dosennya bilang, dalam hitungan ketiga anda akan tertidur, langsung
ngorok deh. Atau “begitu anda mendengar tepukan tangan saya maka isi
kepala anda akan hilang.” Emangnya zombie?. Saking terkesimanya, semua
penjelasan dosennya dimakan mentah-mentah. Tidak dicerna
atau tidak dipertanyakan. Tidak semua penjelasan dosen itu benar begitu
saja. Ilmu pengetahuan itu dinamis. Buku yang dibaca sama. Bisa jadi
interpretasi berbeda. Itulah dialektika terjadi. Untuk belajar
sama-sama. Sebagai sebuah proses.
Lihat sekitar anda. Lihat mata kuliah yang anda ambil. Akan selalu ada
dosen yang dengan sewajarnya berkata, “Iya, maaf, saya salah. Pendapat
kamu benar. Buku itu memang tidak menjelaskan .. blab la bla”. Pasti
akan ada selalu dosen yang dengan senang hati berkata, “Wah, maaf. Saya
belum tahu masalah itu. Mungkin kamu bisa membantu menjelaskan apa yang
dimaksud… blab la bla”. Pasti ada. Dunia tak melulu hitam.
Persoalannya, sering juga terjadi, dosennya siap diskusi, mahasiswanya
cuman bisa mantuk-mantuk. Entah tak mengerti atau tak perduli. Sama saja
hasilnya.
Jadi, mulailah liat dosen-dosen anda. Seperti apakah dia…???
Salah satuhal yang bikin sakit kepala dosen adalah saat masa KRS tiba. Ini saat mahasiswa menentukan rencana studi
pada masa semester berjalan berikutnya. Ini saat yang tiba-tiba membuat
dosen pusing kepala juga. Karena hal-hal berikut ini:
Pertanyaan klasik mahasiswa yang malas mikir: “Semester ini saya harus ambil apa?”
Yang kuliah siapa? Harusnya tahu dong semester ini mau ambil apa.
Ini sepert kamu berdiri di depan penjual duren dan bertanya, “Saya harus
beli apa ya?”. (*langsunglemparduren). Seorang Mahasiswa uddah tahu persis
harusnya mau ambil apa, mau kuliah apa.
Pertanyaan klasik juga “Bu, saya tidak mau ambil matkul A, tapi kan wajib, jadi gimana dong?’
Awalnya, saya pikir ini pertanyaan retoris. Tapi, dugaan itu salah saat sang mahasiswa ternyata menunggu
jawaban saya. Ini sama kayak kamu berdiri depan polisi sambil
berkata, “Pak polisi, saya tidak mau pakai helm, tapi kan wajib pake
helm, kalau tidak pake helm, saya pasti ditangkap”. Nah, tanya aja terus
sampai Metallica bikin lagu keroncong! Intinya, Kalau udah tahu wajib,
masa musti ditanya lagi?
Mahasiswa kebanyakan SKS. Penginnya diambil semua.
Saya senang kalau mahasiswa saya pintar, pandai. Salah satu penanda sederhananya adalah karena nilai semester
sebelumnya bagus, maka dia bisa mengambil SKS maksimal. Biasanya 24 sks,
yang artinya kurang lebih dia bisa ambil 7-8 mata kuliah. 8 matakuliah
seminggu itu banyak bro. Tidak harus dipaksakan. Hidup itu tak hanya kuliah. Di kelas. Apalagi kalau
dosennya 4L (Lu lagi, Lu Lagi). Hidup perlu divariasikan. Ikut organisasi, ikut lomba atau prestasi lainnya.
Mahasiswa kebanyakan SKS, bingungan.
Kekacauan poin sebelumnya akan lebih sempurna jika kalian juga
bingungan. “Saya ambil matkul A aja deh, tapi kan itu tugasnya banyak?”,
atau “Matkul C asyik, tapi kan ndak wajib?” atau, “matkul B boleh juga,
tapi dosen-nya, ndak ah”, “Matkul K bentrok sama matkul G dan
matkul X, duh gimana ya?” Ini bikin dosen kehabisan opsi
saran. “terus, gimana? Mau ambil matkul mana aja?”
“Udah bu, saya penuhin 24 SKS. Fix.”
“Ok, final ya ini”
“Ya bu. Tapi kalau ada satu yang ndak lulus, gimana bu? IP saya jadi turun dong”
!(*@U#U@#U@U#O@U#@(
Mahasiswa SKS minimum, Ambisi maksimum
Saya kadang kasihan, tapi mahasiswa tipe begini kadang perlu sadar diri. Sudah tahu jumlah SKS minimum, tapi ambisinya maksimum.
Saya paham dan mendukung kalau ambisi itu perlu buat memaksimalkan
kemampuan, tapi ya realistis juga. Udah gitu, tidak nyadar, kadang
hal itu disebabkan karena mereka juga. Lalai di semester sebelumnya.
Mahasiswa last minute.
Ini mahasiswa yang merasa dunia milik mereka dan dosennya cuman numpang. Proses konsultasi dan bimbingan diminta pada saat-saat terakhir,
menjelang penutupan. Tidak tanggung-tanggung, mereka biasanya
memerintahkan dosennya untuk di kampus atau ada untuk mereka setiap
saat. “Bu, saya ke kampus ya, tolong disapprove bu, hari ini terakhir dikumpul”, atau “Ibu kok tidak ke kampus? Saya nunggu
untuk diaprove bu. Tolong yang cepat ya bu” Kayak gini, dosen wali merasa boss-nya jadi tambah banyak. Perasaan
kemaren-kemaren cuman dekan sama rektor, kok bisa nambah jadi anak ini?
Mahasiswa ngetop
Biasanya ditandai dengan SMS “Ibu, dimana? Saya di kampus
nunggu tanda tangan”. Situ siapa? Nama..namaaaa… terus saya
disuruh teriak gitu di kampus, “Hoi, yang kirim sms nunggu tanda tangan,
kesini yaaa..saya sudah di kampus..”. Maafkan, saya tidak menyimpan
semua nomer telepon mahasiswa. Bukan pilih-pilih, mahasiswa di kampus
total ada 400an orang. Mau disimpan semua?
Mahasiswa Galau
Ini juga bikin dosennya juga galau. Hari pertama sampai hari ke-14,
pilihannya berubah terus. Saya tidak masalah berubah-ubah, tapi
seringkali itu terjadi karena hal yang sepele, plus sebelumnya dia sudah
minta di-approve. Akhirnya yang saya lakukan, semua
permintaan approval sampai
menjelang deadline, baru saya pastikan.
“Okay..sudah ya. Saya approve sekarang”
“Okay bu. Makasih bu”
Saya approve. Kemudian saya pergi. Di tengah jalan muncul SMS,
“Maaf bu, maaf banget, matkuliah C dihapus lagi bu. Saya lupa kalau
jadwalnya bentrok sama saya kerja,”
Mahasiswa Salah Dosen Wali
Ini biasanya panikan. Datang tiba-tiba, panik. Kemudian minta bimbingan.
Setelah bimbingan, dia bilang, “Oh maaf bu, Dosen wali saya ternyata
Bu X”.
A promised Student (Kalau dibahasa-Indonesiakan versi saya, Mahasiswa Penjanji)
Ini mahasiswa yang semester sebelumnya dapat paket hemat, karena IPK-nya rendah, kemudian berjanji akan memperbaiki semua semester
berikutnya, kemudian semester depan datang lagi dengan paket hemat, dan
berjanji akan diperbaiki semester depannya. Begitu aja terus. Bonusnya adalah si mahasiswa biasanya membuat variasi penyebab. Kalau
semester 3 misalnya, matkul X harus diulang karena dia tidak tahu apa
sebabnya ujian akhirnya dapet E, maka semester 4, untuk matkul yang
sama, dia lagi-lagi dapet E, kali ini karena “Tidak tahu, padahal saya
masuk terus tapi nilai tugas saya tidak ada”. alasan lainnya,
“Dicekal karena tidak masuk 4 kali, padahal saya sudah merasa tanda
tangan absen”. “Dosennya plih kasih, saya
dikasih nilai minimum”. Asyik juga sih…alasannya ada terus.
Mahasiswa Hantu
Ini mahasiswa yang tidak pernah kelihatan batang hidungnya. Kalau pengumuman berkumpul, tidak datang dengan
beragam alasan, minta tanda tangan diwakilkan temannya, dan tak pernah
konsultasi. Dipanggil lewat temannya tak
pernah datang dengan beragam alasan. Saya menyerah sendiri. Tapi, isian
KRS online selalu beres, minta approval melalui temannya. Ya sudahlah.
Semoga bukan hantu beneran.
Tapi ya, untungnya tidak banyak yang seperti itu.
Saya bersyukur dan mensyukuri bahwa mahasiswa bimbingan saya
masih dalam batas normal. Dan bisa ditoleransi. Kasus-kasus di atas
memang yang sangat luar biasa.