Filosofi Internal
Pertama, ilmu yang dibagikan tidak akan pernah berkurang. Berbeda dengan harta yang setiap kali kita ambil dan berikan kepada orang lain, secara lahiriah akan berkurang. Bahkan dengan berbagi ilmu di kampus, ilmu kita dapat bertambah dengan sangat signifikan. Ada dua alasan mengapa hal ini bisa terjadi. Pertama, karena sebelum mengajar, sebagai dosen, kita harus belajar, mengembangkan pengetahuan; dan kedua, tidak jarang mahasiswa jauh lebih pintar daripada yang kita duga, dan melalui diskusi di kelas, dosen pun dapat belajar sangat banyak dari mahasiswa. Selain itu, melalui diskusi dengan mahasiswa kita dapat menemukan apa yang belum kita pahami sehingga memotivasi kita untuk terus belajar.
Kedua, berbagi ilmu adalah investasi masa depan: investasi akhirat. Menurut ajaran agama saya, salah satu amal yang terus mengalirkan pahala ketika pelakunya sudah meninggal dunia adalah ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat akan terus mempunyai dampak kepada pribadi yang mempunyai ilmu dan lingkungan sekitarnya. Dampak positif inilah yang membuat berbagi ilmu adalah sebuah amal jariyah, amal yang mengalir pahalanya.
Ketiga, sebuah kebahagiaan yang tak terhingga ketika mengetahui mahasiswa kita menjadi orang sukses atau memahami sesuatu dan kita mempunyai andil di dalamnya atau menjadikan kita sebagai inspiratornya untuk meraih kesuksesan. Memang belum banyak pengalaman saya dalam hal ini, dikarenakan usia mengajar saya baru menginjak 1 tahun. Namun banyak manfaat yang saya dapat dalam perjalanan 1 tahun itu.
Filosofi eksternal
Pertama, Sebagai warga negara yang baik, tentu amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang telah dirumuskan dengan sangat apik dengan visi jauh ke depan para pendiri bangsa perlu disimak ulang. Dengan manjadi pengajar, kita telah menjadikan diri kita terlibat dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kedua, sebagai dampaknya, dengan menjadi pengajar, kiat pun telah berandil dalam membentuk manusia yang lebih merdeka, manusia yang terbebaskan. Untuk inilah Nabi Muhammad diutus, sebagai sang pembebas, the liberator (Engineer, 1990). Nabi telah diutus untuk membebaskan manusia dari paham atau ideologi yang membelenggunya untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaannya. Nilai-nilai kemanusiaan telah tergadaikan kepada “tuhan” yang tidak berhak mendapatkannya. Terkait ide besar yang dibawa oleh Paulo Freire (1985), cendekiawan Brazil yang mengembangkan teori pedagogik kritis. Baginya, pendidikan harusnya membebaskan. Bukunya yang berjudul Pedagogy of the Oppressed telah memberikan warna baru dalam dunia pendidikan. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul Pendidikan untuk Kaum Tertindas. Kondisi masyarakat pada saat itu dianggap tidak adil, dan Freire membagi masyarakat ke dalam dua kelompok yang saling berhadapan: kaum penindas (the oppressor) dan kaum tertindas (the oppressed). Terkait juga dengan filosofi eksternal dengan pendidikan yang membebaskan dengan ide-ide besar Ivan Illich (1972). Illich memberikan kritik yang sangat tajam untuk lembaga sekolah yang gagal dalam proses pendidikan, karena anak didik (termasuk mahasiswa dalam konteks pendidikan tinggi) tidak menjadi terbebaskan. Salah satu konsep penting yang ditawarkan sebagai solusi adalah pembentukan learning web, jejaring pembelajaran yang memungkinkan peserta didik memacu motivasi menjadi self-learner dan menjadikan pengajar sebagai motivator dan guide. Dalam konteks saat ini, ide besar Illich dapat diterjemahkan dengan membuka pintu seluas-luasnya untuk mengakses materi pembelajaran di luar kurikulum yang sangat dibatasi kredit semester dan waktu pertemuan. Teknologi informasi sangat membantu dalam hal ini.
#Di sela-sela suasana libur @my green room ^_^
No comments:
Post a Comment