PENGUJIAN DAN IMPLEMENTASI
PERANGKAT LUNAK
Testing (Pengujian Perangkat Lunak)
Adalah
elemen kritis dari jaminan kualitas perangkat lunak dan merepresentasikan
kajian pokok dari spesifikasi, desain, dan pengkodean.
Pentingnya
pengujian perangkat lunak dan implikasinya yang mengacu pada kualitas perangkat
lunak tidak dapat terlalu ditekan karena melibatkan sederetan aktivitas
produksi di mana peluang terjadinya kesalahan manusia sangat besar dan arena
ketidakmampuan manusia untuk melakukan dan berkomunikasi dengan sempurna maka
pengembangan perangkat lunak diiringi dengan aktivitas jaminan kualitas.
Meningkatnya
visibilitas (kemampuan) perangkat lunak sebagai suatu elemen sistem dan “biaya”
yang muncul akibat kegagalan perangkat lunak, memotivasi dilakukannya
perencanaan yang baik melalui pengujian yang teliti. Pada dasarnya, pengujian
merupakan satu langkah dalam proses rekayasa perangkat lunak yang dapat
dianggap sebagai hal yang merusak daripada membangun.
Sejumlah aturan yang berfungsi sebagai
sasaran pengujian pada perangkat lunak adalah:
1. Pengujian adalah
proses eksekusi suatu program dengan maksud menemukan kesalahan
2. Test case yang
baik adalah test case yang memiliki probabilitas tinggi untuk menemukan
kesalahan yang belum pernah ditemukan sebelumnya
3. Pengujian yang
sukses adalah pengujian yang mengungkap semua kesalahan yang belum pernah
ditemukan sebelumnya
Sasaran itu berlawanan dengan pandangan
yang biasanya dipegang yang menyatakan bahwa pengujian yang berhasil adalah
pengujian yang tidak ada kesalahan yang ditemukan. Data yang dikumpulkan pada
saat pengujian dilakukan memberikan indikasi yang baik mengenai reliabilitas
perangkat lunak dan beberapa menunjukkan kualitas perangkat lunak secara
keseluruhan, tetapi ada satu hal yang tidak dapat dilakukan oleh pengujian,
yaitu pengujian tidak dapat
memperlihatkan tidak adanya cacat, pengujian hanya dapat memperlihatkan bahwa
ada kesalahan perangkat lunak.
Sebelum mengaplikasikan metode untuk
mendesain test case yang efektif, perekayasa perangkat lunak harus memahami
prinsip dasar yang menuntun pengujian perangkat lunak, yaitu:
Ø
semua pengujian
harus dapat ditelusuri sampai ke persyaratan pelanggan, maksudnya
mengungkap kesalahan dari cacat yang menyebabkan program gagal.
Ø
Pengujian harus
direncanakan lama sebelum pengujian itu mulai, maksudnya semua pengujian dapat
direncanakan dan dirancang sebelum semua kode dijalankan.
Ø
Prinsip Pareto
berlaku untuk pengujian perangkat lunak, maksudnya dari 80% kesalahan yang
ditemukan selama pengujian dapat ditelusuri sampai 20% dari semua modul
program.
Ø
Pengujian harus
mulai “dari yang kecil” dan berkembang ke pengujian “yang besar”, Selagi pengujian
berlangsung maju, pengujian mengubah focus dalam usaha menemukan kesalahan pada
cluster modul yang terintegrasi dan akhirnya pada sistem.
Ø
Pengujian yang
mendalam tidak mungkin karena tidak mungkin mengeksekusi setiap kombinasi
jalur skema pengujian dikarenakan jumlah jalur permutasi untuk program menengah
pun sangat besar.
Ø
Untuk menjadi
paling efektif, pengujian harus dilakukan oleh pihak ketiga yang independent
Dalam lingkungan yang ideal,
perekayasa perangkat lunak mendesain suatu program computer, sebuah sistem atau
produk dengan testabilitas dalam pikirannya. Hal ini memungkinkan individu yang
berurusan dengan pengujian mendesain test case yang efektif secara lebih mudah.
Testabilitas adalah seberapa mudah sebuah program computer dapat diuji. Karena
sangat sulit, perlu diketahui apa yang dapat dilakukan untuk membuatnya menjadi
lebih mudah. Procedural dan menggunakannya sebagai pedoman untuk menetapkan
basis set dari jalur eksekusi.
Sasaran utama desain test case adalah
untuk mendapatkan serangkaian pengujian yang memiliki kemungkinan tertinggi di
dalam pengungkapan kesalahan pada perangkat lunak. Untuk mencapai sasaran tersebut,
digunakan 4 kategori yang berbeda dari tehnik desain test case: Pengujian white-box, pengujian black-box, Integrasi Bottom-Up dan Integrasi Top-Down.
Pengujian white-box berfokus pada
struktur control program. Test case dilakukan untuk memastikan bahwa semua
statemen pada program telah dieksekusi paling tidak satu kali selama pengujian
dan bahwa semua kondisi logis telah diuji. Pengujian basic path, tehnik
pengujian white-box, menggunakan grafik (matriks grafiks) untuk melakukan
serangkaian pengujian yang independent secara linear yang akan memastikan
cakupan.
Pengujian aliran data dan kondisi
lebih lanjut menggunakan logika program dan pengujian loop menyempurnakan
tehnik white-box yang lain dengan memberikan sebuah prosedur untuk menguji loop
dari tingkat kompleksitas yang bervariasi. Pengujian black-box didesain untuk
mengungkap kesalahan pada persyaratan fungsional tanpa mengabaikan kerja
internal dari suatu program.
Tehnik
pengujian black-box berfokus pada domain informasi dari perangkat lunak,
dengan melakukan test case dengan menpartisi domain input dari suatu program
dengan cara yang memberikan cakupan pengujian yang mendalam.
Metode pengujian graph-based
mengeksplorasi hubungan antara dan tingkah laku objek-objek program. Partisi
ekivalensi membagi domain input ke dalam kelas data yang mungkin untuk
melakukan fungsi perangkat lunak tertentu. Analisis nilai batas memeriksaa
kemampuan program untuk menangani data pada batas yang dapat diterima.
Metode pengujian yang terspesialisasi
meliputi sejumlah luas kemampuan perangkat lunak dan area aplikasi. GUI,
arsitektur client/ server, dokumentasi dan fasilitas help dan sistem real time
masing-masing membutuhkan pedoman dan tehnik khusus untuk pengujian perangkat
lunak.
Integrasi
Top-Down adalah pendekatan incremental dengan menggerakkan ke bawah melalui
hirarki control, dimulai dengan control utama. Strategi intergrasi top-down
memeriksa control mayor atau keputusan pada saat awal di dalam proses
pengujian. Pada struktur program yang difaktorkan dengan baik, penarikan
keputusan terjadi pada tingkat hirarki yang lebih tinggi sehingga terjadi lebih
dulu.
Strategi top-down kelihatannya tidak
sangat rumit, tetapi di dalam praktenya banyak menimbulkan masalah logistic.
Biasanya masalah ini terjadi jika dibutuhkan pemrosesan di dalam hirarki pada
tingkat rendah untuk menguji secara memadai tingkat yang lebih tinggi.
Pengujian
Integrasi Bottom-up memulai konstruksi dan pengujian dengan modul atomic
(modul pada tingkat paling rendah pada struktur program). Karena modul
diintegrasikan dari bawah ke atas, maka pemrosesan yang diperlukan untuk modul
subordinate ke suatu tuingkat yang diberikan akan selalu tersedia dan kebutuhan
akan stub dapat dieliminasi. Strategi integrasi bottom-up dapat diimplementasi dengan
langkah-langkah:
1. modul tingkat
rendah digabung ke dalam cluster (build) yang melakukan subfungsi perangkat
lunak spesifik.
2. Driver (program
control untuk pengujian) ditulis untuk mengkoordinasi input dan output test
case
3. cluster diuji
4. driver diganti dan
cluster digabungkan dengan menggerakkannya ke atas di dalam struktur program.
IMPLEMENTASI ENTEPRISE SISTEM
Enterprise
system adalah sistem berbasis software
untuk membantu pengelolaan sistem informasi pada suatu organisasi dengan skala
besar. Skala besar berarti volume transaksi yang besar, concern terhadap
kualitas informasi yang tinggi, mengintegrasikan berbagai proses bisnis, lintas
bidang (horisontal) maupun lintas strata (vertikal). Contoh dari ES adalah ERP
(Enterprise Resource Planning) atau e-Business secara umum,
e-Government, dan ingrated software lainnya.
Mengimplementasikan ES tidak mudah, atau setidaknya memilki
strategi yang berbeda dengan sistem lain yang terbatas ruang lingkupnya,
penggunanya dan tidak terpadu. Implementasi di sini bermakna bahwa software
telah dapat digunakan dan bisa memberikan value bagi penggunanya sesuai tujuan
pemanfaatan software tsb. Implementasi ini bisa dilakukan secara internal
organisasi (oleh divisi IT/MIS) atau dengan pihak eksternal dalam kerangka
proyek dan terikat legalitas berbentuk kontrak.
implementator
sebagai pihak eksternal yang melakukan implementasi dan klien sebagai
organisasi yang diimplementasikan softwarenya.
Implementasi ES berbeda dengan
implementasi software berskala kecil atau yang penggunanya tunggal seperti MS
Word, Database Rental VCD atau website, meskipun produknya sama-sama software
yang berjalan di atas server dan membutuhkan konektivitas. Tentu nanti ada
strategi yang berbeda, metode pemilihan bahan yang berbeda, tahapan yang
berbeda, standar-standar tertentu, dst. Demikian pula dalam konteks software,
bisa dipilah berdasar cakupan penggunaannya, bisa dilihat juga dari jenisnya
(generik dan customized), yang masing-masing punya strategi implementasi yang
berbeda. SE berkaitan dengan pengelolaan sistem informasi, yang tidak hanya
bicara teknologi saja, tapi berkaitan dengan proses bisnis, struktur organisasi
dan manusianya.
Pola pikir ”developer” adalah
menganggap suatu problem bisa selesai dengan solusi berbasis software yang baik
dan tepat. Tapi apakah cukup seperti itu? Dalam membangun solusi, ya itu cukup,
tapi belum tentu menjamin kesuksesan implementasi. Pola pikir developer
cenderung berfokus pada analisis dan development tidak pada implementasinya.
Padahal sukses tidaknya proyek software, baik buruknya reputasi implementator,
seringkali orang luar melihat pada keberhasilan implementasinya dan value yang
didapatkan klien. ES untuk organisasi dengan puluhan divisi, ribuan orang,
puluhan kepentingan, dan mungkin ratusan konflik. Apalagi jika software yang
kita implementasikan bukan sekedar supporting tools tapi adalah core dari
bisnis itu sendiri (konsep e-business). Cara implementasi dengan pola pikir
seperti ini hanya akan menghasilkan solusi dan software yang bagus, tapi tidak
optimal dan memberikan value untuk organisasi tsb, atau bahkan malah tidak
pernah akan digunakan.
Implementator tidak bisa memposisikan
diri sebagai project manager pada sebuah proyek yang berkaitan langsung dengan
proses bisnis internal klien. Seorang project manager harus mampu mengelola
semua resource berkaitan dengan proyek. Kadang kita tidak menyadari bahwa
sebagaian besar resource dari proyek software justru berada di sisi organisasi
klien. Sementara, project manager seharusnya memiliki akses ke seluruh resource
tersebut, karena jika tidak, itu bukan project manager namanya.
Dalam kasus ini, maka project manager
seharusnya justru berada di sisi klien, bukan implementator. Akan sia-sia jika
aktivitas project
planning, project controlling dsb sepenuhnya dilakukan oleh implementator,
sementara klien hanya ”tahu beres” saja. Pada akhirnya aktivitas-aktivitas
project management tsb hanya akan menghasilkan berkas-berkas dan dokumen
administratif saja, yang pada kenyataannya tidak pernah dilaksanakan.
Peran yang paling pas untuk
implementator adalah sebagai konsultan. Tugas utama dari konsultan adalah
memberikan informasi, mendampingi, memfasilitasi dan menjadi motor ”behind the
screen”. Tentu saja jika kontraknya melibatkan pengadaan software, konsultan
juga akan melakukan development atau implementasi secara teknis, namun
implementasi keseluruhannya harus dipimpin oleh klien sendiri melalui project
manager. Jika klien tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengelola
proyek software, itulah tugas konsultan untuk mendampinginya, sehingga proses
project planning, control, evaluation, dst sepenuhnya akan berasal dari
ide-ide, komitmen dan effort dari klien sendiri.
Tugas konsultan adalah memfasilitasi
dan mengarahkannya. Model seperti ini yang kemudian memunculkan teknik JAD (Joint
Application Design), yang intinya adalah melibatkan dan kolaborasi seluruh
stakeholder proyek. salah satu fase dalam implementasi sistem adalah fase
transisi, yang pasti akan menuntut perubahan baik kecil maupun besar. Adanya sistem baru, mau tidak mau akan merubah proses
bisnis. Perubahan proses bisnis berarti perubahan cara kerja, alur kerja dan
bahkan budaya kerja. Perubahan ini menyangkut aspek people dan proses bisnis,
sehingga dikenal konsep change management.
Dalam eksekusinya, change
ini harus dipimpin dan dimanage oleh leader di internal organisasi. Yang jelas
seorang konsultan tidak hanya dituntut memiliki pengetahuan tentang software
engineering dan hal-hal teknis, dan juga tidak cukup ditambah dengan pengalaman
dan keterampilan project management, namun konsep dan bestpractice tentang
change management, communication skill yang excellent sangat diperlukan.
JAD (Joint Application Development/Design) sebagai salah satu teknik manajemen dalam mengimplementasikan
sebuah sistem informasi (SI) dalam konteks proyek. porsi terbesar dan terumit
dari proses implementasi SI adalah justru pada proses transisinya, karena
terkait banyak aspek tidak hanya di sisi teknologi tapi harus memahami sisi
sosial, manajerial dan SDM.
Implementasi SI
Masalah
terbesar dari implementasi SI adalah untuk mengetahui kebutuhan dari user,
apalagi dengan karakter proyek :
- Sistem yang melibatkan multi-organisasi/divisi (penggunanya dari beberapa role dan divisi)
- Bisnis proses yang kompleks
- Kebutuhan yang sangat spesifik dan customized.
Dengan karakter proyek yang semacam
ini, tidak cukup bagi seorang system analyst (SA) menentukan kebutuhan
hanya dengan teknik wawancara, observasi ataupun kuesioner. Banyak kasus
ditemui, bahwa pada akhirnya apa yang kita dapatkan dari proses analisa
kebutuhan di awal proyek, tidak match dengan kebutuhan sesungguhnya dari
pengguna sistem, sehingga sistem akhirnya tidak dapat digunakan dengan baik. Masalah lain adalah di sisi waktu.
Teknik-teknik seperti itu seringkali sangat time consuming, sangat
membutuhkan waktu yang lama. Sering juga tim developer dihadapkan
situasi bahwa tidak semua stakeholder proyek memiliki kepedulian yang
sama dengan yang lain. Seorang manajer tidak mengetahui kebutuhan detail dari
staf-staf operasional, sementara itu staf operasional mungkin juga tidak
memahami sepenuhnya spirit, goal dari SI. JAD merupakan sebuah teknik
yang berfokus pada keterlibatan dan komitmen pengguna dalam menentukan
kebutuhan dan merancang (desain) aplikasi. JAD biasanya dilakukan dalam bentuk
tim yang merupakan gabungan dari seluruh stakeholder proyek, yang bekerja dalam
bentuk workshop-workshop atau forum diskusi.
Kenapa
workshop ? karena teknik JAD ini bukanlah sekedar
rapat-rapat, yang biasa dilakukan dalam sebuah proyek dan melibatkan seluruh
stakeholder proyek. JAD adalah tim yang nantinya akan membuat rancangan dan
mengawasi, memonitor bersama jalannya proyek.
Siapa
yang perlu terlibat ?
Secara garis besar yang perlu terlibat adalah :
Secara garis besar yang perlu terlibat adalah :
1.
Sponsor.
Sponsor ini berarti project owner, memiliki kedudukan yang cukup tinggi
dalam organisasi dan sebagai pengambil keputusan tertinggi dalam pengelolaan
sistem informasi. Satu hal yang penting dilakukan oleh seorang project owner
adalah komitmen yang kuat akan implementasi SI yang dilakukan. Without the
executive sponsor's commitment, people do not show up for workshops on time or
sometimes at all. Schedules change and projects are delayed. In short, without
an executive sponsor, there is no project!
2.
Business Users. Business
User ini terdiri dari 2 jenis, yaitu real end user dan representative
end user. Real end user adalah person yang melakukan pekerjaan real
di lapangan. Dalam kasus, ini adalah operator-operator. Sedangkan representative
end user adalah person yang mengetahui seharusnya bisnis proses itu
dilakukan, memahami spirit dan goal dari sistem yang dikelolanya. Biasanya ini
adalah kepala bagian, manajer, atau operator senior.
3.
System Analyst (Tim Developer).
Person/tim ini yang akan in-charge dari sisi teknologi dan proses engineeringnya.
4.
System Experts.
Tidak semua referensi mencantumkan peran ini. Perannya lebih seperti konsultan
yang memahami seluk beluk bisnis proses dari sisi konseptual dan berbasis
pengalaman.
5.
Facilitator.
Seorang fasilitator berfungsi sebagai moderator dan mengarahkan setiap
aktivitas JAD yang melibatkan banyak pihak, untuk menjadi efektif. Seorang
fasilitator harus memiliki kecakapan yang baik dalam berkomunikasi, memberikan
stimulus-stimulus dan trik-trik agar diskusi bisa berjalan dengan baik.
Tentu
saja, setelah penyusunan tim JAD, diperlukan strategi yang tepat dalam
melakukan workshop-workshop, sehingga proses dilakukan lebih efektif. Yang
jelas, teknik ini sudah terbuktif efektif dalam menyelesaikan masalah-masalah
implementasi SI.
Kesimpulan
studi kasus oleh Standish grouph report
Success
Criteria
|
Points
|
DMV
|
CONFIRM
|
HYATT
|
ITAMARATI
|
1.
keterlibatan pemakai
|
19
|
NO ( 0)
|
NO ( 0)
|
YES (19)
|
YES (19)
|
2. dukungan
manajemen eksekutif
|
16
|
NO ( 0)
|
YES (16)
|
YES (16)
|
YES (16)
|
3. kebutuhan
yg jelas
|
15
|
NO ( 0)
|
NO ( 0)
|
YES (15)
|
NO ( 0)
|
4. perencanaan
yg sesuai
|
11
|
NO ( 0)
|
NO ( 0)
|
YES (11)
|
YES (11)
|
5. harapan yg
realistis
|
10
|
YES(10)
|
YES (10)
|
YES(10)
|
YES (10)
|
6. proyek
terkecil
|
9
|
NO ( 0)
|
NO ( 0)
|
YES ( 9)
|
YES ( 9)
|
7. staff yg
kompeten
|
8
|
NO ( 0)
|
NO ( 0)
|
YES ( 8)
|
YES ( 8)
|
8. pemilik
|
6
|
NO ( 0)
|
NO ( 0)
|
YES ( 6)
|
YES ( 6)
|
9. visi &
sasaan ygjelas
|
3
|
NO ( 0)
|
NO ( 0)
|
YES ( 3)
|
YES ( 3)
|
10. kerja
keras, staff dipusatkan
|
3
|
NO ( 0)
|
YES ( 3)
|
YES ( 3)
|
YES ( 3)
|
TOTAL
|
100
|
10
|
29
|
100
|
85
|
Sukses / gagalnya proyek
Project
Success Factors
|
% of Responses
|
1.
keterlibatan pemakai
|
15.9%
|
2. dukungan
manajemen eksekutif
|
13.9%
|
3. kebutuhan
yg jelas
|
13.0%
|
4.
perencanaaan yg sesuai
|
9.6%
|
5. harapan yg
realistis
|
8.2%
|
6. proyek
terkecil
|
7.7%
|
7. staff yg
kompeten
|
7.2%
|
8. pemilik
|
5.3%
|
9. visi dan
sasaran yg jelas
|
2.9%
|
10.kerja
keras, staff dipusatkan
|
2.4%
|
Lainnya
|
13.9%
|
Project
Challenged Factors
|
% of Responses
|
1. tidak ada masukkan dari pemakai
|
12.8%
|
2. kebutuhan & spesifikasi tg tdk sempurna
|
12.3%
|
3. mengubah
kebutuhan dan spesifikasi
|
11.8%
|
4. tidak ada
dukungan dr manajemen eksekutif
|
7.5%
|
5.
ketidakmampuan teknologi
|
7.0%
|
6. tidak ada
sumber daya
|
6.4%
|
7. harapan yg
tdk realistis
|
5.9%
|
8.sasaran tdk
jelas
|
5.3%
|
9. batasan
waktu tdk realistis
|
4.3%
|
10. teknologi
baru
|
3.7%
|
Lainnya
|
23.0%
|
Project
Impaired Factors
|
% of Responses
|
1. kebutuhan
tdk lengkap
|
13.1%
|
2. tidak ada masukan/keterlibatan dr pemakai
|
12.4%
|
3. tidak ada
sumber daya
|
10.6%
|
4. harapan yg
tdk realistis
|
9.9%
|
5. tidak ada dukungan dr manajemen eksekutif
|
9.3%
|
6. perubahan
kebutuhan dan spesifikasi
|
8.7%
|
7. tidak ada
perencanaan
|
8.1%
|
8. tidak
diperlukan sama sekali
|
7.5%
|
9. tidak ada
manajemen IT
|
6.2%
|
10. buta
teknologi
|
4.3%
|
Lainnya
|
9.9%
|
Istilah
DMV : the California department of motor vehicles
Banco itamarti : bank
brazil
Confirm :
American airlines utk penyewaan mobil di hotel marriott
& hilton
No comments:
Post a Comment