Mencapai usia kehamilan saat ini, saya sangat
bersyukur dan semakin hari semakin tidak sabar menunggu pertemuan kami, saya
dan bayi saya :) Apa lagi menyadari anggota-anggota badannya yang sering
menyembul di kulit perut saya. Dua pertanyaan yang sangat sering saya dengar
saat orang melihat perut saya yang semakin menggendut ini:
1.
”Udah kelihatan belum, laki atau perempuan?”
Menurut saya pertanyaan ini
sangat wajar. Karena mungkin beberapa orang mengharapkan anak pertama itu
idealnya laki-laki. Jadi, mengetahui jenis kelamin itu penting. Tapi, lalu
kemudian saya berpikir, ketika seorang dinyatakan hamil, ada dua kemungkinan
jenis kelamin yang masing-masing memiliki hak hidup yang sama besar, yaitu 50%
cewe: 50% cowo, dan keduanya sama-sama memiliki HAK UNTUK HIDUP. Lantas, kenapa
harus dibedakan, sulung idealnya laki-laki dan anak kedua mesti kepengennya
cewe, “biar sepasang,” katanya. No! Semua berhak hidup dan berhak menjadi yang
sulung. Lagian, banyak orang yang susah dapet keturunan, harusnya sangat
bersyukur ketika bisa mendapatkan anak, entah itu laki atau perempuan. Jadi, di
kehamilan ini, saya tidak ingin tahu, saya tidak mempermasalahkan apa jenis
kelamin calon anak saya ini. Yang penting normal dan sehat. aamiiin.
2. ”Kata
dokter, bisa ngelahirin normal?”
Jujur, saya hanya ingin
saya bisa bertemu dengan anak saya yang selama ini hanya bisa menendang,
meninju, dan menggelitik saya dari balik kulit perut saya ini. Saya ingin dia
lahir dengan keadaan sehat dan saya juga sehat. Saya ingin bisa mendengar
tangisannya yang menggema ke seluruh penjuru rumah. Saya ingin bisa menyusuinya
sampe umur 2 tahun. Ternyata kalo saya baca-baca di forum-forum kehamilan,
banyak bumil yang ngotot ingin melahirkan normal, dan rasanya dunia hancur kalo
sudah divonis harus SC. Why??? Bayi Anda itu masih hidup. Dia sehat. Kenapa
harus dunia hancur? Lebih hancur mana, ketika mengetahui bayi Anda tidak tumbuh
dan akhirnya harus keguguran??? Please… Ternyata, dengar-dengar, kebudayaan
kita ini punya proverb yang menurut saya “aneh”, yaitu: “Kalo melahirkan
normal itu, rasanya menjadi ibu yang sepenuhnya” Whaaatt..???
Jadi, hamil dan “membawa
perut besar” selama 9 bulan, lalu setelah itu mengeluarkan “bayi", itu
masih belum bisa disebut seorang IBU??? Jadi, kalo ada wanita yang melahirkan
normal, trus bayinya dibuang, itu juga bisa dibilang IBU??? Dangkal sekali
“pangkat” IBU itu, ya?
Sekali lagi, saya masih gak habis pikir dengan
orang yang berpikir: HARUS BISA MELAHIRKAN NORMAL. Kecuali, terbentur masalah
biaya, saya bisa memaklumi. Karena melahirkan dengan operasi SC memang biayanya
terpaut lumayan jauh jika dibandingkan dengan melahirkan normal. Kalo udah
masalah duit, saya maklum lah. Banyak orang yang berusaha bisa melahirkan
normal, supaya bisa melahirkannya di bidan, jadi biayanya tidak seberapa mahal.
Kalo itu, saya bisa mengerti. Namun, kalo alasannya bukan karena biaya, saya
masih gak ngerti. Memang, definisi IBU agaknya masih rancu dalam kehidupan
kita. Menurut kita, pada umumnya, IBU itu,
-mengandung
-melahirkan
-membesarkan anak
-melahirkan
-membesarkan anak
Bagaimana dengan wanita yang: mengandung dan
melahirkan, tapi tidak membesarkan anak. Entah, anaknya dibuang, atau ditaruh
di panti asuhan, atau diserahkan sama “si Mbak”.
Apakah wanita seperti itu bisa dikatakan
seorang IBU?
Bagaimana dengan wanita yang: tidak mengandung
dan tidak melahirkan, tetapi dengan segala pengorbanan dan jiwa raganya dengan
ikhlas, mendidik, menjaga, merawat, dan sangat bertanggung jawab dalam
membesarkan anaknya. Katakanlah, wanita ini mengadopsi bayi.
Apakah wanita seperti itu tidak berhak
dikatakan seorang IBU?
Menurut saya, kok, tidak adil sekali, kalo
kriteria seorang IBU adalah MUTLAK berdasarkan TAKDIR seorang
wanita (mengandung dan melahirkan). Atau apakah seharusnya definisi kata IBU
itu harusnya tidak ada dalam kamus bahasa Indonesia, melainkan dalam kitab
suci, sehingga hanya Tuhan yang boleh menilai dan mendefinisikan arti IBU?
Wallahu’alam bi shawwab.
Hmmm... Sabar menantikan kelahiran sang buah
hati. Setiap orang punya tantangan dan ujian hidup masing-masing. Setiap rumah
tangga juga memiliki ujian tersendiri. Seringkali kita diuji oleh ilmu yang
kita miliki. Disanalah sebenarnya kita belajar mengamalkan ilmu yang kita
punya. Saat ini, saya sedang diuji untuk sabar menunggu kelahiran anak pertama
kami. Alhamdulillah bayinya sehat. Hanya perlu bersabar menanti saat bayinya lahir.
Tapi saya percaya setiap ujian itu diturunkan sudah dengan segala kesiapan
kita. Bukankah Allah tidak akan menguji seseorang melainkan sesuai dengan
kemampuannya? Ya, sekarang kita sedang diuji akan keyakinan kita pada Allah.
Diuji dengan ilmu kehamilan yang saya dapat. Selama janin dan kehamilan
baik-baik saja, tinggal mau bersabar. Sabar, doa, tawakkal, dan yakin sama
Allaah. Alhamdulillaah dapat bidan yang sabar dan cukup bisa diajak diskusi.
Dianugerahi suami yang sabar dan support setiap kali drop, keluarga besar yang
luar biasa. Love u all. Terima kasih untuk semua support, nasihat, masukan,
sharing dan semua yang sudah saya terima. Dede bayi.. Allah tahu persis kapan
dede akan lahir. Love u, baby.. ^_^
Di sela menikmati gejolak-gejolak dalam peyut ^_^, nemu artikel islami..
Bismillah..
----- “Menanti kelahiran anak pertama adalah suatu momen yang penuh dengan harap
dan cemas. Harap dan cemas itu muncul seketika dalam kondisi kejiwaan seluruh
anggota dari keluarga besar. Semua anggota keluarga berharap ia lahir dalam
kondisi yang sempurna dengan proses persalinan yang normal. Ia lahir dengan
sempurna sehat begitu pula dengan sang ibu yang diharapkan juga sehat setelah
melewati proses persalinannya. Dalam Al-Qur’an Surat Al Hajj ayat 5, ALLAH SWT
berfirman: “….Sesunguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian
dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging
yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna agar Kami jelaskan kepada
kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang
sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi..”.
Seluruh
anggota keluarga berdoa mengharapkan kelahiran sang bayi dalam kondisi
sempurna. Keluarga juga tidak hanya berharap pada kondisi fisik yang sempurna
tetapi juga pada kesempurna akal dan pikiran yang nantinya akan mengantarkannya
menjadi hamba Allah yg sholeh/ah. Firman ALLAH ini juga turut menjadi doa bagi
keluarga untuk mendapatkan anak yang lahir dan tumbuh besar nanti menjadi anak
yang sholeh/ah, “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak
yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” Q.s. Ali Imran:38.
Cemas
adalah kondisi kejiwaan yang terjadi ketika seseorang dalam tekanan atau
ketakutan akan suatu hal. Cemas ini juga menjadi salah satu nuansa kejiwaan
yang mewarnai anggota keluarga pada saat penantian kelahiran anak pertama.
Cemas muncul dikarenakan peristiwa kelahiran anak ini adalah peristiwa perdana
yang dihadapi oleh kedua orangtua. Ibnus Sunni meriwayatkan dengan sanad dhaif.
Ketika putri Rasulullah SAW, Fatimah radhiyallahu ‘anha mengalami proses
persalinan, beliau memerintahkan kepada Ummu Salamah dan Zainab binti Jahsy
untuk datang dan membaca Ayat Kursi; Ayat dari surat Al-A’raf: “Sesungguhnya
Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari,
lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakanNya pula) matahari, bulan dan
bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintahNya. Ingatlah menciptakan
dan memerintah hanya hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam” (Q.s.
al-A’raf:54); ayat dari surat Yunus: “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas
‘Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorang pun yang akan memberi syafaat
kecuali sesudah ada izin-Nya (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu,
maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” (Q.s.
Yunus:3); dan mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan surah an-Naas)”.--------