Thursday, 30 October 2014

Wanita Sederhana

Siapa yang tak mengenal Umar bin Khattab. Namanya telah begitu besar sebelum dia masuk Islam. Jagoan gulat dari klan Bani ‘Adi ini telah memiliki segalanya untuk disebut pria. Gagah, terhormat, kaya, disegani. Dan setelah memeluk Islam, lengkaplah semuanya. Lebih dari seperempat dunia tercerahkan oleh Islam di bawah kepemimpinannya. Maka jadilah dia bersejarah. Berbondong-bondong orang mempelajari karakternya. Beramai-ramai orang menulis tentang dirinya.

Melegenda karena jasa-jasanya. Dikenang karena pengorbanannya. Namun adakah yang mengenal wanita dibalik orang hebat itu? Siapa yang tahu tentang sosok istri Umar bin Khattab sebesar pengetahuannya pada sosok sang khalifah? Bahkan, siapa yang mengenal dengan jelas istri-istri Rasulullah selain Aisyah dan Khadijah? Lalu apakah berarti wanita-wanita mulia itu tidak mempunyai peran atas kesuksesan suaminya? Tentu terlalu naïf jika kita berfikir demikian.
Namun dari sini kita belajar sebuah kaidah sederhana bahwa: tidak semua orang hebat memerlukan orang yang sehebat dirinya untuk menemaninya dalam berjuang. Kebanyakan dari mereka justru mempunyai istri yang sangat sederhana dan bersahaja. Karena biasanya, orang-orang yang sederhana itu mampu menerima orang lain (suaminya) sebagaimana dia adanya, bukan bagaimana dia seharusnya. Sekali lagi, dia mampu menerima orang lain sebagaimana dia adanya, bukan bagaimana dia seharusnya.  Mereka tidak banyak menuntut. Maka jadilah orang-orang yang mempunyai istri seperti ini, kapasitas mereka akan cepat berkembang. Setahu saya, orang-orang hebat itu pasti pernah melalui perjalanan panjang yang sarat dengan kegagalan. Ketika dia “menyimpan” orang-orang sederhana dibalik perjuangannya dalam menghadapi permasalahan, dia pun akan sangat cepat menemukan berbagai penyelesaian.

Coba kita pikirkan. Ketika pria-pria hebat itu berkutat dengan kegagalan  dan berusaha mencari sebuah solusi, istri yang sederhana ini hadir untuk mengatakan bahwa dia tidak menuntut suaminya menjadi apapun, dia akan selalu setia dengan kondisi sang suami. Maka hadirlah ketenangan itu. Dan dibalik ketenangan inilah, solusi-solusi itu akan datang beriringan. Setelah solusi datang berhamburan, jadilah dia yang paling cemerlang di zamannya. Dia melejit, lalu menjadi pahlawan.

Di sisi yang berbeda, walaupun tidak selamanya, orang-orang yang mempunyai kapasitas tinggi terkadang melihat orang lain dengan cara pandang bahwa mereka harus menjadi seperti apa yang dia inginkan. Atau setidaknya, tidak terlalu jauh dengan kapasitas dirinya. Dan seringkali potensi alamiah seseorang tidak akan berkembang dengan baik saat dia hidup dengan orang seperti ini. Maka orang-orang besar itu biasanya, dia tidak memerlukan istri yang seunggul dirinya. Namun mereka memerlukan istri yang tepat dengan bingkai kepribadiannya. Sekali lagi, mereka tidak butuh yang paling unggul, namun yang paling tepat.

Sebelum ini saya akhiri, mari belajar banyak dari istri seorang Buya Hamka. Tokoh inspirasi saya. Pernah suatu saat Buya Hamka diundang untuk mengisi ceramah. Sebelum beliau naik mimbar, sang pembawa acara tiba-tiba mempersilakan istri beliau untuk memberikan ceramah pembuka. Niat yang baik memang. Dia berfikir “kalau suaminya aja penceramah besar, tentu istrinya juga jago ceramah dong”. Tidak ada yang salah dari pemikiran itu. Maka majulah istri Buya Hamka. Beliau mengucapkan salam, lalu berkata “Saya tidak bisa ceramah. Saya hanyalah tukang masak dari sang penceramah”, lalu beliau turun. Sederhana. Dan kesederhanaan itulah yang membuat Hamka menjadi besar.

No comments: