Siapa
yang tak mengenal Umar bin Khattab. Namanya telah begitu besar sebelum
dia masuk Islam. Jagoan gulat dari klan Bani ‘Adi ini telah memiliki
segalanya untuk disebut pria. Gagah, terhormat, kaya, disegani. Dan
setelah memeluk Islam, lengkaplah semuanya. Lebih dari seperempat dunia
tercerahkan oleh Islam di bawah kepemimpinannya. Maka jadilah dia bersejarah. Berbondong-bondong orang mempelajari karakternya.
Beramai-ramai orang menulis tentang dirinya.
Melegenda karena jasa-jasanya. Dikenang karena pengorbanannya.
Namun adakah yang mengenal wanita dibalik orang hebat itu? Siapa
yang tahu tentang sosok istri Umar bin Khattab sebesar pengetahuannya
pada sosok sang khalifah? Bahkan, siapa yang mengenal dengan jelas
istri-istri Rasulullah selain Aisyah dan Khadijah? Lalu apakah
berarti wanita-wanita mulia itu tidak mempunyai peran atas kesuksesan
suaminya? Tentu terlalu naïf jika kita berfikir demikian.
Namun dari
sini kita belajar sebuah kaidah sederhana bahwa: tidak semua orang hebat
memerlukan orang yang sehebat dirinya untuk menemaninya dalam berjuang. Kebanyakan dari mereka justru mempunyai istri yang sangat sederhana dan bersahaja. Karena
biasanya, orang-orang yang sederhana itu mampu menerima orang lain
(suaminya) sebagaimana dia adanya, bukan bagaimana dia seharusnya.
Sekali lagi, dia mampu menerima orang lain sebagaimana dia adanya, bukan
bagaimana dia seharusnya. Mereka tidak banyak menuntut. Maka jadilah
orang-orang yang mempunyai istri seperti ini, kapasitas mereka akan
cepat berkembang. Setahu saya, orang-orang hebat itu pasti pernah
melalui perjalanan panjang yang sarat dengan kegagalan. Ketika dia
“menyimpan” orang-orang sederhana dibalik perjuangannya dalam menghadapi
permasalahan, dia pun akan sangat cepat menemukan berbagai
penyelesaian.
Coba kita pikirkan. Ketika pria-pria hebat itu
berkutat dengan kegagalan dan berusaha mencari sebuah solusi, istri
yang sederhana ini hadir untuk mengatakan bahwa dia tidak menuntut
suaminya menjadi apapun, dia akan selalu setia dengan kondisi sang
suami. Maka hadirlah ketenangan itu. Dan dibalik ketenangan inilah,
solusi-solusi itu akan datang beriringan. Setelah solusi datang
berhamburan, jadilah dia yang paling cemerlang di zamannya. Dia melejit,
lalu menjadi pahlawan.
Di sisi yang berbeda, walaupun tidak
selamanya, orang-orang yang mempunyai kapasitas tinggi terkadang melihat
orang lain dengan cara pandang bahwa mereka harus menjadi seperti apa
yang dia inginkan. Atau setidaknya, tidak terlalu jauh dengan kapasitas
dirinya. Dan seringkali potensi alamiah seseorang tidak akan berkembang
dengan baik saat dia hidup dengan orang seperti ini. Maka orang-orang
besar itu biasanya, dia tidak memerlukan istri yang seunggul dirinya.
Namun mereka memerlukan istri yang tepat dengan bingkai kepribadiannya.
Sekali lagi, mereka tidak butuh yang paling unggul, namun yang paling
tepat.
Sebelum ini saya akhiri, mari belajar banyak dari
istri seorang Buya Hamka. Tokoh inspirasi saya. Pernah suatu saat Buya Hamka diundang untuk
mengisi ceramah. Sebelum beliau naik mimbar, sang pembawa acara
tiba-tiba mempersilakan istri beliau untuk memberikan ceramah pembuka.
Niat yang baik memang. Dia berfikir “kalau suaminya aja penceramah
besar, tentu istrinya juga jago ceramah dong”. Tidak ada yang salah dari
pemikiran itu. Maka majulah istri Buya Hamka. Beliau mengucapkan salam,
lalu berkata “Saya tidak bisa ceramah. Saya hanyalah tukang masak dari
sang penceramah”, lalu beliau turun. Sederhana. Dan kesederhanaan itulah
yang membuat Hamka menjadi besar.
No comments:
Post a Comment