Oke deh, kita lanjutin obrolan santai tentang fakta mengenai dosen. (Part 1 klik disini). Perlu diingetin lagi nih bahwa semua yg ditulis di blog
ini adalah pendapat pribadi. Tidak terkait ataupun mencerminkan
kebijakan dari suatu institusi.
Jadi seperti biasa kita bisa sepakat untuk tidak sepakat.
# Setelah lulus, langsung jadi dosen atau …
Kalo saya dulunya gak langsung jadi dosen. Di semester 5, saya bekerja part time di sebuah Studi Photo. Jadwal kuliah selesai jam 1 siang, trus lanjut kerja sampai jam 10 malam. Disana saya kerjanya ngedit poto, design2 tampilan photo sesuai dengan permintaan customer. Saya bekerja disana selama 1 semester. Setelah itu,di semester 7 selama lebih kurang 1 tahun saya bekerja di sebuah perusahaan swasta PT. MNC Sky Vision, Dept Retrieval sebagai Staff Admin. Saat itu kuliah saya tetap lanjut, da kebetulan materi kuliah sudah selesai dan saya tinggal menyelesaikan skripsi saja. Setelah selesai S1 saya mendapat tawaran menjadi dosen di kampuz saya menyelesaikan S1. Kemudian saya memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan tempat saya bekerja karena harus melanjutkan pendidikan ke Pasca Sarjana. Dari
pengalaman saya sendiri dan hasil ngobrol dengan beberapa kolega, dapat
disarikan bahwa kerja di perusahaan swasta yang besar sebelum menjadi dosen memberi beberapa
keuntungan:
a. Hand on experience
Yang jelas setelah kita sempat kerja di perusahaan, pandangan kita menjadi
lebih terbuka mengenai dunia nyata. Bahwa apa yg ada di text book tidak
selalu jalan di dunia nyata. Hal ini disebabkan adanya perbedaan
konteks, paradigma, asumsi yang digunakan di textbook dan di dunia
nyata. Bukan berarti bahwa ilmu text book tidak berguna di dunia
nyata, namun lebih seringnya kita harus mengadaptasi konsep-konsep
textbook agar kontekstual. Selain itu, dengan merasakan sendiri bekerja di dunia lain, dosen
akan bisa menyisipkan pengalaman-pengalamannya di saat memberi
pelajaran. Contoh-contoh yang ditampilkan saat mengajar menjadi
realistis – dan mudah-mudahan menjadi lebih menarik bagi mahasiswa.
b Network
Dengan pernah merasakan bekerja di dunia lain, jaringan pertemanan /
komunikasi kita menjadi luas, terutama di bidang kerja kita. Network yang luas akan berguna sekali, misalnya: tukar informasi tentang pengetahuan terbaru, konsultasi,
dsb.
c Open Minded
Terkadang dosen terlalu fokus ke bidangnya, dan tidak mau tahu lagi hal
lain di luar bidang keilmuannya. Kesempatan untuk bekerja di dunia lainnya akan memberikan peluang
untuk melihat dunia dalam ‘gambar besar’ – suka atau tidak
suka. Saat anda bekerja di dunia lain, anda akan terekspose pada
tugas-tugas yang menuntut anda untuk bisa bekerja sama dengan orang lain
dan melihat masalah secara sistemik / holistik. Trend kerja di perusahaan swasta
saat ini adalah mengurangi / menghilangkan silos of expertise. Anda akan membawa attitude ini saat anda menjadi dosen.
d Memperjelas niat
Menjadi dosen, menurut saya, adalah panggilan. Seorang dosen dituntut untuk banyak berkorban dengan tujuan menjadi
pendidik yg baik. Banyak tantangan dan godaan dalam perjalanan untuk
menjadi seorang dosen. Gaji yang besar di tempat lain, misalnya. Karenanya, untuk meyakinkan apakah anda benar-benar ingin (passionate)
menjadi dosen, salah satunya adalah dengan ‘mencicipi’ pekerjaan lain. Jika ternyata setelah anda bekerja di perusahaan sekian
lama, dengan gaji yg cukup, fasilitas oke, dan hati kecil anda tetap
menginginkan menjadi dosen – berarti dosen adalah panggilan jiwa anda. Anda tidak akan sedih saat bertemu teman seangkatan anda sudah
menjadi manajer di sana, mondar-mandir ke LN, gaji besar, dsb karena
menjadi dosen adalah PILIHAN anda. Bukan suatu keterpaksaan
.
# Perlukah Sekolah lagi?
Kayaknya untuk yang ini jawabannya udah jelas. Dosen dituntut untuk
selalu mengupgrade dirinya agar bisa kompeten. Karena salah satu tugas
dosen adalah menjadi peneliti, maka dia harus punya kecakapan untuk bisa
menjadi peneliti mandiri. Gelar Ph.D atau Doktor memberikan gambaran
bahwa sang penyandang adalah seseorang yg berkompeten untuk melakukan
penelitian secara mandiri. Selain itu dosen seharusnya selalu mengupdate kemampuannya agar tidak
kuper. Karenanya dosen harus selalu haus untuk selalu belajar dari
manapun – bahkan dari mahasiswanya.
# Dosen = pinter di akademik
Well, ini adalah syarat perlu tapi bukan syarat cukup. Orang yang pinter
di akademik belum tentu cocok jadi dosen, tapi untuk jadi dosen perlu
modal itu.
He he .. agak ribet ya?
Di samping harus jago di bidang akademik [oke deh IP=3, cum laude juga boleh, dst], menurut saya dosen harus jago di bidang
soft skill.
Wah apa pula itu soft skills?
Kira-kira sih artinya kemampuan untuk berinteraksi dengan manusia lain.
Ya sesama dosen, mahasiswa, kolega, dll. Jadi yg dituntut
untuk jago soft-skill tidak hanya mahasiswa lho.
# Dosen = serem
Wah kalo ini saya gak tahu deh. Tapi apa ya masih jamannya dosen itu
harus serem? Kalo serem so what gitu lho? Mahasiswa jadi gak berani
mengungkapkan pendapat, tak ada diskusi, sepi, ngatuk, boring.
Tapi kalo emang sudah bawaan lahir / inherent ya mo gimana lagi. Harap maklum.
# Dosen = sumber ilmu pengetahuan
Kemunginan besar tidak deh. Dosen juga manusia. Bukan ‘dewa’ ilmu
pengetahuan – serba tahu. So semestinya dosen mengakui bahwa
sekali-sekali tidak tahu ya gak masalah. Tapi kalo sering-sering ya
jangan. Paradigma baru pembelajaran adalah SCL – student-centered-learning.
Kurang lebih artinya adalah bahwa mahasiswa harus diberi kesempatan
untuk bisa belajar sesuai gaya belajarnya sendiri. Ada deduktif, ada
induktif. Ada yg jago belajar secara abstrak – pinter banget nurunin
rumus yg pake integral lipat lima; ada yg pinternya belajar dengan
intuisi dan studi kasus; ada pula yang lihainya belajar dengan
mempraktekkan. Dosen ya bertindak sebagai fasilitator bukan dewa ilmu
pengetahuan.
Intinya, learn smart, play hard.
No comments:
Post a Comment