Tuesday 27 March 2012

Mitsaqan ghalizha

“Mitsaqan ghalizha”, perjanjian yang berat. Dari seluruh perjanjian antara Allah dengan manusia, hanya tiga yang disebut Allah sebagai “Mitsaqan Ghalizha.”

Pertama, Perjanjian Allah dengan Bani Israil. “Dan kami angkat keatas kepala mereka bukit Thursina untuk menerima perjanjian yang telah kami ambil dari mereka dan kami perintahkan kepada mereka: masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud. Dan kami perintahkan pula kepada mereka: janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu. Dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang berat, mitsaqan ghalizha.” (An-Nisa: 154). Apa yang terjadi ketika sebagian mereka melanggar perjanjian berat ini? Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya telah kalian ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu. Lalu Kami berfirman kepada mereka: jadilah kamu kera yang terhina.” (Al-Baqarah: 65)

Kedua, Tuhan menyebut Mitsaqan Ghalizha ketika berbicara tentang perjanjian Dia dengan para utusan-nya yang mulia. Tuhan membuat perjanjian bukan hanya dengan para Nabi As, tetapi secara khusus dengan Nabi-nabi besar yang dikenal sebagai Ulul Azmi. Ia bersabda, “Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari Nabi-nabi dan dari engkau sendiri, dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang berat, Mitsaqan Ghalizha.” (Al Ahzab: 7)

Ketiga, Tuhan menyebut akad nikah antara dua orang anak manusia sebagai mitsaqan Ghalizha. Tuhan menegur suami-suami yang berbuat zalim, yang merampas hak istrinya dengan berfirman, “Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, padahal kalian sudah berhubungan satu sama lain sebagai suami istri. Dan para istri kalian sudah melakukan dengan kalian perjanjian yang berat, mitsaqan Ghalizha.” (An-nisa: 21)

Karena itu wahai putra putriku, akad nikah yang anda lakukan adalah sebuah perjanjian yang sama beratnya dengan perjanjian Bani Israil dengan bukit yang berganung diatas kepala mereka, sama agungnya dengan perjanjian para Rasul dihadapan Allah SWT. Bila anda melanggar perjanjian ini, seperti Bani Israil, Tuhan akan mengutuk anda menjadi kera yang hina dina. Bila anda memikul perjanjian ini dengan tulus, Tuhan akan memuliakan anda dan menekan anda berdua dalam lingkungan para kekasihNya, sebagaimana Tuhan memuliakan para Rasul as dan mencintai mereka.

Setiap mitsaqan Ghalizha mengandung misi yang mulia. Bani Israil diharuskan menjalankan hokum-hukum TUhan dalam perjuangan mereka menuju negeri idaman, para Nabi as diperintahkan untuk memimpin umat manusia dalam perjalanan mereka menuju Tuhan, lalu apa yang harus dilakukan suami istri dalam pelayaran mereka di samudra kehidupan? Tuhan berfirman, “Dan diantara tanda-tanda keagungan Allah ialah Dia menciptakan untuk kalian dari jenis kalian juga pasangan-pasangan kamu supaya kamu hidup tentram bersamanya dan Tuhan menjadikan diantara kamu cinta dan kasih saying. Sesungguhnya pada hal yang demikian itu ada tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.” (Ar-Rum :21)
Walhamdulillahi Robbil alamin.

Tulang Rusuk Mengenali Siapa Pemiliknya

Hawa Mengenali Adam: Tulang Rusuk Mengenali Siapa Pemiliknya

dia
sebuah nama yang belum tereja
dia
sebuah rupa yang belum tersketsa
dia
sebuah sosok yang entah dimana
dia
calon nahkoda
sebuah biduk rumah tangga
dia
kuyakin ada
karna hati yang merasa
Rabbana
Jaga ia di manapun berada
Mudahkan langkahnya
Tunjukkan jalannya
Luruskan niatnya
Bulatkan tekadnya
Mantapkan hatinya
Berkahilah rizkinya
Hingga akhirnya
KAU pertemukan aku dengannya
Dalam suatu ikatan suci nan mulia
Mitsaqan ghalizha

“Sejak diturunkan ke bumi, Hawa terus memikirkan Nabi Adam. Bagaimana keadaannya sekarang? Apa ia sanggup hidup sendirian di bumi ini? Hawa bertekad untuk bertemu Nabi Adam. Hawa terus berjalan menyusuri bumi. Sesekali ia beristirahat sambil makan buah-buahan. Ia terus berdoa kepada Allah agar segera dipertemukan dengan Nabi Adam. Hawa tiba di sebuah padang pasir dan bukit yang sangat gersang.  Ia sudah sangat kelelahan dan hampir putus asa. Kemudian ia berdoa kepada Allah dengan sangat khusyuk. Rupanya Allah mengabulkan doanya. Hawa melihat sosok yang sangat ia kenali. Ia adalah Nabi Adam. Hawa memanggil Nabi Adam dan Nabi pun memanggil Hawa dengan penuh kerinduan. Inilah saat yang paling membahagiakan bagi mereka.”

Itulah sepenggal kisah tentang pertemuan Adam dan Hawa di bumi dalam buku “Ensiklopedia Kisah Al-Qur’an” terbitan Gema Insani Press. Mungkin kisah ini pun menggambarkan manusia pada umumnya. Tabiat perempuan yang peduli tergambar jelas dalam penggalan cerita di atas. Hawa terus memikirkan Nabi Adam dan ingin segera bertemu dengan Nabi Adam. Apa alasannya? Ternyata, bukan karena sekadar melepas rindu dirinya pada Adam, tapi lebih memikirkan bagaimana keadaan Nabi Adam sekarang? Apakah Adam sanggup hidup sendiri di bumi? Hawa tak memikirkan dirinya sendiri. Itulah sifat dasar perempuan, ketika memutuskan sesuatu ia selalu mempertimbangkan orang lain bukan hanya kepentingan dirinya sendiri.

Ya, karena Allah menciptakan Hawa untuk menemani Adam ketika di syurga. Allah tahu bahwa Adam tak bisa hidup sendiri. Walaupun dengan kenikmatan-kenikmatan syurga yang telah ia dapatkan, tetap saja seorang Adam membutuhkan teman. Maka, Allah ciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam untuk menemani Adam di syurga.

Ketika diturunkan ke bumi dan mereka berpisah, maka naluri masing-masing pasti akan saling mencari. Dan dalam pencarian di sini digambarkan secara jelas kekhawatiran Hawa akan kondisi Adam di bumi: sanggupkah Adam hidup sendirian?

Hawa pun terus berusaha menelusuri bumi demi bertemu Adam. Uniknya, di buku ini tak diceritakan bagaimana usaha Adam menemukan Hawa, tapi lebih kepada bagaimana usaha Hawa menemukan Adam. Pastinya tak bisa dipungkiri juga bahwa tentunya Adam pun berusaha keras untuk bertemu dengan Hawa karena di syurga yang penuh kenikmatan saja Adam membutuhkan seorang teman, bagaimana dengan ketika di bumi yang berbeda jauh dari segi kenikmatan di syurga?  Tentu Adam sangat membutuhkan seorang teman terlebih ketika berada di bumi. Dan tentunya ada rasa kehilangan ketika Hawa yang biasanya menemaninya di syurga tak ada di sisinya.

Memang agak sedikit berbeda, penggambaran pertemuan itu diangkat dari sisi Hawa yang berusaha bertemu Adam. Tak diceritakan pencarian seorang Adam namun lebih ditekankan pada pencarian seorang Hawa yang menunjukkan rasa pedulinya pada Adam. Hawa terus berjalan, beristirahat, berdoa di tengah lelah. Hingga akhirnya di tengah lelah yang begitu sangat dan dalam kondisi hampir putus asa, di gurun pasir yang panas dan gersang, doa khusyuknya dikabulkan Allah dan dipertemukanlah ia dengan sosok yang ia kenal. Ya, ternyata Hawa-lah yang mengenali Adam lebih dulu ketika bertemu. Sungguh, tulang rusuk mengenali siapa pemiliknya.

Mungkin akan terlontar pertanyaan begini: “Nabi Adam dan Hawa itu kan cuma dua-duanya manusia di bumi. Jadi ketika bertemu mudah untuk saling mengenali. Lantas bagaimana dengan kita yang jumlah penduduk bumi sudah sekian milyar banyaknya? Bagaimana kita bisa tahu bahwa dialah tulang rusuk kita (bagi laki-laki) atau dialah pemilik tulang rusuk ini (bagi perempuan)?

Di sinilah letak proses ta’aruf itu berperan. Tentunya ta’aruf yang syar’i, bukan sekadar kata ta’aruf namun jauh nilai-nilainya dari sebuah proses ta’aruf. Ta’aruf lah ajang saling mengenal yang [katanya] akan terasakan di sana siapa tulang rusuk atau pemilik tulang rusuk kita.

Mari kutunjukkan kisah dua orang akhwat. Ada seorang akhwat yang merasa klop dengan seorang ikhwan, merasa saling cocok, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk ta’aruf. Dalam proses ta’aruf, ternyata istikharah sang akhwat tak mantap dan ada keraguan di sana. Ta’aruf pun kandas di tengah jalan. Awalnya sebelum ta’aruf, sang akhwat menganggap bahwa ikhwan itulah pemilik tulang rusuknya. Tapi ternyata, setelah ta’aruf, bukan ikhwan itu pemilik tulang rusuknya.

Qadarullah, sang akhwat dipertemukan dengan seorang ikhwan yang belum pernah dikenal dan dipertemukan dalam sebuah proses ta’aruf. Sang akhwat pun mantap, tak ada keraguan sedikit pun dalam istikharahnya. Akhirnya, mereka menikah.

Satu lagi, ada seorang akhwat yang memblacklist seorang ikhwan untuk menjadi calon suaminya karena merasa tidak cocok secara karakter. Namun ternyata sang ikhwan berkeinginan untuk ta’aruf dengan sang akhwat. Awalnya sang akhwat menolak untuk berta’aruf dengan sang ikhwan. Atas nasihat sang guru ngaji dan istikharah beberapa kali, sang akhwat pun mencoba untuk berta’aruf dengan ikhwan yang dimaksud. Hingga akhirnya, mereka menikah.

Terlihat jelas bukan? Bahwa memang hanya sebuah proses ta’aruf yang syar’i-lah yang bisa mendatangkan petunjuk Allah. Dan sebaik-baik petunjuk itu adalah petunjukNYA.
Ada sebuah penggalan dalam artikel yang pernah dibaca:

“Kalau kita tidak mau mencoba ta’aruf, bagaimana mungkin kita tahu ia jodoh kita atau bukan. Kalau kita ta’aruf, kita akan tahu. Jika berhasil, berarti jodoh. Kalau belum berhasil, berarti belum jodoh. Iya, kan?!”

Jadi, memang benar, kita takkan pernah tahu siapa jodoh kita di dunia, kita takkan pernah tahu siapa pemilik tulang rusuk kita (bagi perempuan), atau siapa tulang rusuk kita yang belum ditemukan (bagi laki-laki), sebelum proses ta’aruf. Dari proses ta’aruflah, Allah memberikan petunjukNYA, menunjukkan siapa yang terbaik untuk kita.

So, buat para ikhwan yang sedang merasa seseorang itu sebagai tulang rusukmu, cobalah ta’aruf dulu. Baru kamu bisa bilang kalau dia tulang rusukmu atau bukan setelah proses ta’aruf. Dan tentunya disertai musyawarah dan istikharah. Dua hal inilah yang tak boleh ditinggalkan ketika proses ta’aruf.

Dan buat para akhwat yang berkali-kali gagal dalam proses ta’aruf, yakinlah memang mungkin belum saatnya dipertemukan dengan pemilik tulang rusukmu. Bersabarlah dan teguhkanlah kesabaranmu. Insya Allah semua kan indah pada waktunya.

Pada akhirnya, sebaik-baik jodoh adalah jodoh di akhirat, jodoh yang kekal. Namun sejatinya kita takkan pernah tahu siapa jodoh kita di akhirat. Karena belum tentu jodoh di dunia juga otomatis jodoh di akhirat. Maka yang bisa diikhtiarkan saat ini adalah mencari jodoh di dunia untuk membawanya menjadi jodoh di akhirat pula.

“Ya Allah Ya Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami nikmat di dunia dan juga nikmat di akhirat. Dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka…”
Aamiin…