Wednesday 22 June 2016

Dosen Bukan Cita-cita tetapi Panggilan Hati

Tulisan ini memang tulisan yang datangnya tiba-tiba. Dibuat saat saya seharusnya mengetik hal yang lebih penting. Laporan revisi penelitian saya. Sudahlah. Anda pasti tahu kenapa ini terjadi bukan? kalau Anda tidak pernah melakukan ini, berarti freaking smart and discipline, dan mahasiswa saya, sudahlah, jangan komentar. anda bahkan juga sering.

Jadi, begini. Selama ini sudah terlalu banyak tulisan soal mahasiswa. Semua menulis soal mahasiswa. Semua berkata soal mahasiswa. kalau soal jomblo, ndak lulus, belum kawin, pasti soal mahasiswa. Padahal, ada juga loh dosen yang jomblo. Ada juga loh dosen yang ndak lulus-lulus. Iya, itu DOSEN ...
Saya merasa dosen diperlakukan beda. Bukan terhormat. bagaimana bisa terhormat, kalau saat kuliah, saya menemukan status mahasiswa yang berbunyi “Dosen ini bicara apa sih di depan?”. untung bukan kuliah saya. Lalu, kalau mahasiswanya ndak lulus, pasti yang disalahkan dosennya.

Mungkin karena takut. Bisa jadi. Nah, takut sama dosen ini bahaya sebenarnya. Artinya akan ada masa kalau mahasiswa tidak takut lagi sama dosennya. dan itu lebih complicated.
Jadi, ya, saya akhirnya menulis soal dosen. Kebetulan saya juga dosen. Saya juga pernah menjadi mahasiswa. Jadi tahu soal dosen dari perspektif mahasiswa. Tapi, bukan berarti tulisan ini akan memberikan generalisasi pada semua dosen.

Dosen bukan cita-cita saya. Siapa orang yang punya cita-cita jadi dosen? Seumur hidup, saya belum pernah menemukan anak kecil yang dengan pandangan mata tajam percaya diri dan membusungkan dada menjawab bangga saat ditanya, apa cita-cita kamu saat besar nanti. “Saya akan menjadi dosen,” (diiringi music heroic dan bendera berkibar-kibar di belakang). Nothing. Tidak ada. Dosen itu bukan cita-cita. Setidaknya bagi saya. Tidak pernah ada cita-cita jadi dosen dalam kamus hidup saya waktu itu. Saya memilih menjadi seorang end user profesional sebagai tujuan kuliah bukan untuk menjadi dosen.

Pilihan menjadi dosen muncul, sejujurnya, bukan pilihan saya. Pilihan itu datang saat saya sudah tidak nyaman dengan profesi sebelumnya. Apa ya pekerjaan yang tidak membuat saya terikat jam kantor, jenjang karir yang jelas dan pastinya bisa sambil beramal. Dosen saya menawari saya karena sedang kekurangan dosen. Setelah berdiskusi dengan keluarga, keluarga mendukung. Sayapun berkata, "Iya". 
Ya, terjadilah. Begitu saja. Tiba-tiba. Saya jadi dosen. Saya studi lanjut S2. Saya resmi menjadi “honorer” dosen. Itu berlangsung selama kurang lebih 3 tahun akibat terhambat oleh sistem dan birokrasi. Bukan perjuangan yang mudah. Suka duka lahir batin dihadapi dengan kesabaran yang ekstra. Berangkat dari ZERO.
Kenapa saya mau jadi dosen. Itu pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan cepat. Miriplah dengan bertanya berapa hasil 45 dikali 765 dibagi 346 dikurangi 56. Susah kan? Musti mikir dulu kan? Atau sama dengan kalau mahasiswa ditanya dosennya. “kalian milih mana, dapat tugas bikin makalah 10 halaman apa dengerin kuliah saya lima jam nonstop”. Pasti susah juga menjawab seketika. Musti mikir dulu. Walau hasilnya sama. :D

Alasannya sudah pernah saya tulis dalam postingan saya sebelumnya yang berjudul "Miyapah Quw Jadi Dosen???"  
Catatan: tulisan ini semua adalah pandangan dan pengalaman pribadi saya, tidak mengatasnamakan institusi apapun.

Kadang, saya merasa (dan seringkali perasaan saya salah), saat awal menjadi dosen, saya seakan berpindah kasta. Tahu kasta kan? Bukan yang jogged-jogged reggae itu, itu Rasta. Tiba-tiba, semua orang menyebut berbeda. Semua menyebut kata “Buk”. Ini aneh bagi saya. Sungguh tidak nyaman rasanya. Serasa ada jarak. Mahasiswa saya selalu menyapa saya dari jarak setidaknyanya satu meter. Memang belum ada yang menyapa saya di depan muka saya begitu sih.

Selain berubah panggilan, kadang juga sikap dan penilaian. Semua menjadi berubah karena saya dosen. Bagi beberapa orang, pekerjaan dosen mungkin dianggap masuk “kasta” baru. Padahal, itu hanya pekerjaan. Kalau dikaitkan dengan moral, semua pekerjaan punya moralnya sendiri. 
Salah satu love-hate relationship antara dosen dan mahasiswa tercipta dari pertanyaan “Ada yang tidak paham?”

Pertanyaan tersebut pasti sering dan hampir selalu ditanyakan dosen kepada mahasiswa di kelas. Banyak dosen yang bertanya “ada yang tidak paham?” atau “ada yang mau ditanyakan?”. Bayangkan, sejak saya SD, SMP, SMA, dan mahasiswa mendengar pertanyaan itu di kelas. Dan kini, saya sendiri harus menanyakan hal yang sama? Sebetulnya, dosen punya alasan kenapa menanyakan hal itu. Percayalah. Dosen selalu punya alasan untuk semua hal. Termasuk hal-hal yang sesungguhnya tidak beralasan.

Alasan pertama, adalah sebagai jeda. Jeda ini bisa bermacam-macam. Seringkali antara materi satu dengan materi lainnya perlu jeda. Lebih universal kalau ditanyakan hal ini. Dengan bertanya “ada yang tidak paham”, dosen itu punya waktu untuk menyiapkan materi berikutnya. Minimal sehembus dua hembus nafas. Maka, bantulah dosen anda dengan satu atau dua pertanyaan. Bisa kejadian loh, kalau anda tidak bertanya, dosennya bisa kehabisan kata. Cukup pertanyaan simple. Biasanya dosen begini dosen yang sangat berhati-hati dalam mengeluarkan penjelasan. Jadi perlu jeda.

Alasan kedua, untuk memastikan anda ada. Iya bener. Kadang-kadang dosen itu tidak sadar kalau seluruh mahasiswanya sudah tidur. Atau lebih parah, sudah tidak ada di kelas. bayangkan perasaan dosennya, saat masuk kelas penuh, selesai ngoceh dua jam, sudah hilang semua. Nah untuk memastikan, dosen perlu bertanya. pertanyaan standard ya, “ada yang tidak paham?’. Iya, walaupun tidak ada yang menjawab, setidaknya sudah bertanya. Tipe begini biasanya, kalaupun tidak ada yang menjawab, dia akan lanjut lagi menjelaskan.

Alasan ketiga, untuk memberikan anda persiapan sebelum terjadi kejadian yang tidak akan anda harapkan. Ini biasanya pada dosen yang suka serangan mendadak. Jadi, kalau muncul pertanyaan ini, sebaiknya menyiapkan pertanyaan. Setidaknya satu dua hal yang terkait dengan materi. karena kalau tidak, biasanya dosen ini akan menyambung dengan hujanan perintah seperti “baik karena sudah paham, mari kita test” atau “okay, buat essay 20 halaman dikumpul besok..” Malah dapet tugas hanya karena ndak bertanya.

Alasan keempat, untuk memastikan bahwa materinya tidak salah. Ini biasanya pada dosen pelupa. Setelah dua jam anda mendapat materi sangat wajar anda bertanya. Jadi dosen itu minta bantuan anda untuk memastikan bahwa satu, materinya tidak salah; dua, kelasnya tidak salah; tiga, dosennya tidak salah. Anda akan sangat membantu.

Alasan kelima, untuk meyakinkan diri, bahwa dosen itu sudah di jalan yang benar. Saya waktu awal jadi dosen, kelas pertama saya berisi bapak-bapak dan ibu-ibu yang latar belakang guru dan karyawan yang sudah punya jabatan dan posisi bagus ditempat kerjanya, sudah senior pengalaman dari saya. Saat pertanyaan itu saya munculkan, saya melihat baik-baik setiap wajah dengan harapan akan ada wajah simpatik yang akan membesarkan hati.

Alasan keenam, mencari alasan menyudahi kuliah. Ini biasanya kalau si dosen lagi hobi marathon. Nyerocos terus sampai lima menit menjelang jam kuliah berakhir, baru si dosen mengeluarkan pertanyaan pamungkas. Biasanya sambil merapikan buku, menghapus papan tulis, menghidupkan hape. Dan mahasiswa yang cerdas dan tidak kepengin dimarahin temannya, tentu tak akan bertanya. Perlu rasanya, variasi dalam menyudahi mata kuliah. Kalau saya menyudahi kuliah dengan tugas. Namun, karena saya bosan menanyakan pertanyaan itu, saya biasanya menanyakan “ada yang paham?”. Hasilnya, luar biasa. Tidak ada yang menjawab. Di situlah saat saya merasa harus pulang ke rumah nangis guling-guling. Hehehehe :D

Tugas dosen itu lebih berat daripada mahasiswa. Jadi kalau mahasiswa mengeluh banyak tugas, mungkin karena belum berada di posisi dosen. Kenapa saya berani mengatakan seperti itu, ya karena saya dosen. Saya waktu mahasiswa juga pernah memprotes dosen saya (dalam hati tentunya), atau ngerumpi dengan sesame teman sependeritaan tentang salah satu dosen. Atau semua dosen. Sudahlah, saya tahu, bahan cacian, kutukan, dan segala sumpah serapah mahasiswa pasti ada nama dosen dalam salah satu list penerimanya. Atau mungkin satu-satunya.

Misalnya saja, mahasiswa, secara kepantasan saja, paling pol hanya mengingat dan mengenal nama 2 dosen saja. Minimal di prodi sendiri. Kalau sering bergaul, mungkin lebih. Atau kalau sering kesasar kelas, lebih banyak lagi. Dari dua itu, yang paling diingat tentu dosen yang namanya paling sering terdengar. 

Kembali lagi soal nama. Mahasiswa hanya menghafal 2 nama. Lhah, dosennya, harus menghafal minimal 100 nama untuk satu angkatan. Belum selesai, sudah muncul 100 lagi. Kalau dihitung, dalam empat tahun harus menghafal nama 400 mahasiswa. Apalagi ketambahan mahasiswa abadi yang tidak lulus-lulus. Jadi, kalau ada dosen mampu mengingat banyak nama, ada beberapa kemungkinan: satu: ingatannya luar biasa, dua: anda mahasiswa abadi yang tidak lulus-lulus, tiga: anda mahasiswa yang tiap kuliah hanya masuk hari pertama, setelah itu ngilang. Empat; dosen anda cuman spekulasi manggil nama secara acak.

Lalu, mahasiswa yang cuman menghafal 2 nama mengeluh? Nah, walau si dosen sudah punya nama, mahasiswa yang ingatannya lemah atau memang sengaja, selalu punya cara menamakan dosennya. Sudah tahu namanya Pak Anu atau Bu Anu, tetap saja menyebut “Pak agama, atau Bu teori”. Apalgi kalau lagi jengkel karena habis dikasih hukuman bikin ringkasan 30 halaman, langsung nama dosennya diganti.
Lalu dosennya bisa apa? Membalas dengan mengganti nama juga? Mana bisa? 400 orang. Gimana mau ganti namanya? Paling cuman salah panggil, “Coba kamu, Anton namamu kan?”. Si mahasiswa menjawab, “Loh, bukan pak, nama saya wati”. Nah… paling apes, dosennya memanggil “nak..”. Jadi kalau bicara sesame dosen, jadi lucu kalau ternyata nama mahasiswa yang dimaksud berbeda. Gimana g, nama Budi misalnya, bisa ada lima Budi di satu angkatan, dan total 12 Budi di seluruh 4 angkatan. Nyebutnya pun harus spesifik. Misalnya Budi yang kumisan, Budi yang cantik, Budi yang Bengal. 

Tapi kekacauan soal nama itu sangat terasa saat saya menggunakan social media sebagai alat komunikasi. Setiap bimbingan pasti harus ekstra keras menebak. Iya menebak. Siapa ya yang akun facebooknya bernama “Indah CantiexChelalu” atau “Iwan RhuphawanMeNaNTIhaRAPAN” itu. Foto di akunnya juga sama semua. Kadang isinya foto jilbaaaab semua, maklum jualan online jilbab. Atau foto kakii…semua, hobi self-foot. Di twitter juga sama. Kadang saya bingung. Saya juga bingung dengan mahasiswa yang SKSD dengan mengirimkan pesan melalui WA “Bu, besok bisa bimbingan? Udah gitu aja. Adanya cuman nomer. Tidak ada namanya. Ada juga dikasih penutup, “Ditunggu besok ya. Bu”.

Jadi, maafkan saya kalau saya tidak bisa mengingat semua nama mahasiswa saya. Lah, kalau semua saya minta pake name-tag juga repot. 

Tapi saya percaya, proses mengingat nama mahasiswa itu akan menjadi lebih baik dan cepat saat membuat relasi antara keduanya seperti teman. Teman yang baik ada level respek di sana. Bukan semata hormat atau takut. Tapi respek. Bukan karena posisi dosen dan mahasiswa, tapi karena relasi yang saling berkontribusi.

Negeri ini sedang ramai soal gelar. Ini bukan isu baru. Sebenarnya. Tapi, entahlah. Ini akan tetap terjadi jika orang masih mendewakan gelar.

Gelar hadir dalam beragam bentuk. Yang relevan maupun tidak relevan. Gelar di depan dan di belakang nama dikejar-kejar. Tentu ini adalah apresiasi dari kerja keras seseorang menempuh pendidikan. Sebagai bagian dari penandaan. Tidak apa-apa sebenarnya. Wajar. Menjadi tidak wajar kalau dikejar sebagai yang utama. Bukan esensi keilmuannya. Akhirnya jadi tak wajar. Apalagi langsung dikaitkan dengan pakar dan kepakaran. Gelar menjadi relevan jika ditempatkan sesuai porsinya. Kepakaran, menurut saya tak otomatis dengan gelar yang melekat. Kecuali beberapa bidang keilmuan yang memang harus memerlukan untuk ditampilkan agar secara yuridis, sesuai dengan pekerjaannya. Misalkan, dokter, tentu harus memasang gelarnya. Dr,Anu, SpB apa misalnya. Tentu aneh kalau ada nama IGAK S.Sos. membuka praktek umum dan melayani suntik KB.

Mendapatkan gelar ini memang penting. Sekali lagi sebagai penanda akhir. Saya tidak menyebutkan gelar tidak penting. Tapi beberapa orang melihat dari perspektif yang berbeda. Gelar mutlak menjadi ukuran kesuksesan atau malah ukuran pembanding dengan orang lain. Bagi saya, punya gelar tak selamanya membuat kita lebih pintar dari mereka yang tak bergelar. Punya gelar Master, doctor atau professor tak harus membuat kita lebih tinggi dari yang lain. Gelar itu penanda akhir pada bidang ilmu yang kita tekuni. Atau malah pada satu subyek riset yang kita lakoni. Gelar, seringkali saya posisikan sebagai bonus. Bonus dari kerja keras kita sekolah.

Yang celaka seringkali memang ada orang yang sudah bergelar lengkap. (dalam dunia akdemis ya tentu S1, S2, S3) lalu menganggap dirinya menguasai semua. Orang lain cuman tahu sedikit. Ini orang yang hidup dalam fatamorgana. Mending dihindari. Daripada sakit hati.
Kehidupan nyata tidak bergantung gelar yang kita punya. Apalagi dalam relasi kolegial dalam satu departemen atau unit kerja. Bagi saya, gelar master yang saya dapat tidak otomatis membuat saya lebih pintar atau diatas kolega saya yang belum S2. Lalu membuat dunia hanya milik saya yang lainnya hanya numpang. Bagi saya omong kosong kalau ada yang seperti itu. Itu menurut saya feodalisme akademik. Dunia akademik yang menerapkan feodalisme.

Saya memperlakukan gelar sewajarnya. Tidak terlalu silau zing..zing..dengan orang yang bergelar. Apalagi banyak. Tapi mengapresiasi, bahwa dia sudah melalui proses sekian lama untuk mendapatkan itu. Karena gelar bisa bikin kebakar. Kalau sudah kebakar, habis semua. Nama pun tak punya akhirnya. Semua orang bisa dapat gelar. Tapi tak semua orang benar-benar pintar. Karena kadang, orang pintar pun tak bergelar.

No comments: